23. Penolakan Langsung

41 4 0
                                    

Malamnya, Nada sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Setelah pamit dengan Mamanya, Nada bersiap untuk pergi dengan motor kesayangannya. Baru saja keluar dari area rumahnya, Nada sudah di hadang oleh mobil mewah berwarna hitam.

"Loh ada apa ni?" Monolog Nada.

Seseorang turun dari mobil itu lalu menghampirinya. Nada mengenal orang itu.

"Pak Bayu?"

"Malam Bu Dhianada, saya Bayu. Maaf ya saya tiba-tiba berhenti di depan motor Ibu. Saya mau menyampaikan, jika direktur mau berbicara dengan Ibu di mobil."

Direktur?

"Pak Handoko. Ayah dari Pak Viandra." Ucap Bayu memperjelas. Nada menelan ludah. Untuk apa beliau mencari Nada?

"Tadi direktur berpesan juga, ibu berangkat kerja sekalian saja menggunakan mobil beliau. Beliau antar. Karena memang ada yang ingin beliau bicarakan sama ibu."

Nada melirik mobil di depannya itu. Ada apa ini? Ataukah ada sangkutannya dengan Vian?

"Oke baik. Tapi saya taro motor saya dulu."

"Baik. Kami tunggu disini Bu."

Setelah itu, Nada pulang kembali untuk mengembalikan motornya. Membuat Qonita bingung. Nada memberitahu kalau dia berangkat bareng temannya menggunakan mobil. Jadi sekalian nebeng. Hal itu Nada sampaikan supaya Mamanya tidak menaruh khawatir dan curiga.

Lalu Nada kembali ke mobil. Disana Bayu sudah membukakan pintu mobil belakang untuk Nada. Nada mendekat, dan dia melihat Handoko duduk disana.

"Masuk saja Dhianada." kata Handoko.

Dengan memberanikan diri, Nada pun masuk dan duduk disamping Handoko setelah izin kepada direktur tersebut. Tak lama kemudian, mobil mulai jalan.

"Bagaimana kabarmu Dhianada?" Tanya Handoko basa-basi.

"Baik.. Pak. Alhamdulillah. Kata Pak Bayu, ada yang mau Bapak bicarakan. Ada apa ya Pak kalau boleh tau?" Tanya Nada.

"Tentang anak saya, Viandra."

Tuh kan.

Nada merapihkan duduknya dan mempersiapkan telinganya untuk mendengar baik-baik. Walaupun ntah kenapa, hatinya merasakan hal yang tidak enak.

"Vian meminta izin ke saya sama istri saya untuk melamarmu." Ucap Handoko memulai.

Nada terdiam kaget. Dia tidak menyangka jika Vian serius ingin mempersuntingnya. Vian tidak mengatakan apapun kepadanya.

"Tapi saya menolak."

Deg!

Suara itu tegas sekali di telinga Nada. Membuat hati Nada berdenyut sakit. Sangat sakit. Ia mengerti arti kalimat itu. Perlahan, Nada mengeratkan pegangannya pada tas dipangkuannya. Berusaha menguatkan diri walaupun dirinya tidak yakin akan berhasil.

"Karena alasan saya adalah kamu tidak sebanding dengan anak saya. Bukankah begitu?" Handoko menatap perempuan disampingnya yang masih terdiam.

Handoko tertawa lirih kemudian, menatap genggaman tangan Nada yang masih terlihat erat. Namun tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Perempuan itu berusaha untuk tidak runtuh.

"Karena alasan itu, Vian marah sama saya. Menurutmu, bagaimana? Saya butuh tanggapanmu."

Tanggapan apa? Apakah beliau ini sedang mengujinya? Apakah tidak tau kalau Nada saat ini sedang berusaha keras agar air matanya tidak turun? Nafas saja tersendat, bagaimana mau menanggapi.

Nada mengatur nafasnya. Berkali-kali untuk membuat pikiran dan hatinya kembali tenang.

"Saya tidak tau harus beri tanggapan seperti apa." Nada berucap dengan sedikit terbata.

"Saya menerima semua alasan terkait saya yang Bapak layangkan saat bicara sama Mas Vian. Semua orang berhak dengan pendapatnya masing-masing. Saya berpikiran terbuka tentang itu." Lanjut Nada.

"Saya cuma berharap Bapak bisa lihat dan paham juga dengan pendapat Mas Vian. Jadi, bisa sama-sama mengutarakan pendapat. Bukankah itu adil? Saya tidak membela Mas Vian sepenuhnya, tapi setidaknya, Bapak bisa membiarkan Mas Vian untuk memilih pilihannya sendiri."

Nada kembali menghirup nafas teratur, lalu membuangnya perlahan.

"Saya tidak memilih untuk bisa dicintai oleh Mas Vian. Saya ngga tau rasanya dicintai karena memang Mas Vian adalah laki-laki pertama yang mencintai saya selain keluarga. Saya bahagia sekali, Pak. Tapi ternyata, saya tidak bisa diterima sepenuhnya. Saya tidak masalah dengan itu."

Nada mengangkat wajahnya lalu mengalihkan pandangannya ke jalanan. Tanpa sadar air matanya terjatuh dengan deras. Namun dengan cepat Nada menghapusnya. Ya Allah, ini terasa sakit.

"Saya minta maaf jika saya tidak sepadan sama Mas Vian dan dengan lancang saya mencintainya juga. Tapi nanti saya coba bicara sama Mas Vian tentang hal ini, karena keputusan ini bukan ada di saya. Tapi, apapun keputusan Mas Vian, saya harap Bapak bisa hargai itu. Itu tanggapan saya Pak." Ucap Nada menyelesaikan perkataannya.

Mobil berhenti di halte bus dekat dengan rumah sakit tempat Nada bekerja. Nada yang memintanya untuk diturunkan disana.

Nada memberanikan diri untuk menatap Handoko yang sedari tadi hanya diam.

"Terima kasih sudah mau mengantar saya kesini. Saya pamit dulu Pak." Ucap Nada lalu menunduk sopan.

Handoko mengangkat tangannya sebelum Nada keluar dari mobil.

"Kamu tidak salim sama saya?" Handoko bertanya. Dia tau biasanya jika bertemu dengannya ataupun istrinya, perempuan itu pasti salim.

Nada sedikit kaget mendengarnya, tapi dia tetap salim ke Handoko. Menghormati yang jauh lebih tua dan dewasa darinya.

"Saya izin keluar Pak. Terima kasih banyak."

Pintu mobil tertutup. Handoko masih terdiam sambil melihat Nada yang perlahan menjauh. Wanita itu menunduk sambil mengelap wajahnya. Helaian nafas keluar.

"Apa saya keterlaluan Bayu?"

Bayu yang mendengar itu tidak bisa menjawab apa-apa. Dia jelas mendengar semua percakapan atasannya itu dengan perempuan yang baru dia kenal sebelumnya. Tapi selama beberapa hari Bayu berbincang dengan Nada, Bayu akui bahwa Nada adalah wanita yang sopan dan baik.

"Saya membuat kesalahan lagi sepertinya." Handoko berkata pelan sambil melihat kondisi jalan raya yang ramai kendaraan.

.

.

.

- Update lagii. Maaf ya gais, part ini pendek. Karena memang khusus untuk bapak direktur wkwkwkw. Selamat membaca~

Cinnamon HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang