First

1.6K 134 24
                                    

Malam ini terasa lebih sunyi dari pada sebelumnya, dan diri ini terbawa hanyut dalam keheningan. Tak terduga tengah malam sudah menyapa. Mata ini anehnya enggan terpejam, padahal lelahku sudah di puncak kepala. Apakah karena aku yang terlalu banyak mengkonsumsi kafein? Hingga aku selalu merasa cemas, dan berakibat sulit untuk tidur.

Sendirian aku malam ini, duduk melantai dengan penerang cahaya bulan yang menerobos dinding kaca apartemen. Dalam kesendirianku di heningnya malam ini, mengantarkanku pada masa lampau. Tanpa permisi perasaan yang sudah lama kutenggelamkan meluap lagi ke permukaaan, bagaikan buih soda yang bermunculan setelah airnya dituangkan ke dalam gelas.

Kutatap pantulan diriku di kaca dinding pembatas gedung dengan balkon. Seketika aku teringat, dan cukup heran. Bagaimana aku bisa bertahan sampai sekarang ini? Padahal selama aku menjalaninya, hariku dipenuhi rasa penyesalan, dan tersiksa dengan rasa cemas. Aku seolah dihakimi oleh perasaanku sendiri, dan orang-orang di sekitarku.

Mereka selalu salah paham terhadapku. Aku kecewa, sedih terlalu dalam, dan aku terperangkap dalam ingatan masa lalu. Seperti malam ini, aku benci melihat pantulan diriku di kaca. Tidak. Bukan karena aku yang membenci wajahku, tapi aku sangat tidak suka bila terus saja terbayang-bayang masa lalu dan mencemaskan masa depan. Benar sekali, dengan menatap wajahku saja, aku bisa langsung jatuh sejatuhnya.

Aku muak selalu merasa sendirian, selalu merasa salah, dan selalu merasa paling rendahan. Masa lalu yang gelap, membawaku terpuruk dalam ingatan yang menyakitkan dan menyayat hati. Sudah terlalu banyak aku membuang air mata tanpa suara yang dihasilkan di dalam keheningan.

Entah sudah berapa kali aku mencoba untuk menyerah. Berkali-kali aku mengobati luka batin ini sendiri, dan berusaha menguatkan diriku sendiri bahwa nelangsa tak akan berlangsung lama. Aku pasti akan baik-baik saja. Mungkin suatu saat nanti, tapi yang pasti ... aku harus bertahan untuk bisa merasakan itu semua.

Kepalaku bersandar di tepian ranjang, napas berat yang tertahan di dada ini, kulepas ke udara, seolah resah-resah yang kupeluk selama ini baru saja aku bebaskan. Terkadang di momen seperti ini, aku mengingat Tuhan. Ya aku percaya Dia tidak selalu menghadapkanku dengan yang namanya kesengsaraan. Aku percaya jika apa yang telah aku dapatkan, dan harus aku lalui adalah, salah satu rencana Tuhan untuk mendidikku keras agar menjadi manusia yang kuat.

Namun sekuat-kuatnya aku menahan, aku juga tetap bisa merasakan lelah. Aku lelah jika harus terus saja memaklumi segala kesedihan yang telah aku dapatkan. Aku tidak marah, sumpah demi apapun aku tidak marah. Aku hanya merasa ....

Sakit.

Ini sangat sakit, dan begitu melelahkan, anehnya tidak ada yang peduli. Lelah di tubuhku tidak sebanding dengan lelah untuk berpura-pura baik-baik saja. Ahh ... malam ini aku benar-benar kacau, padahal seharian ini terasa begitu normal.

Aku beranjak dari lantai, dan berpindah posisi duduk di ranjang. Sebetulnya aku tidak sepenuhnya sendirian, ada sosok malaikat kecil yang kini  pergi ke alam mimpi. Aku tidak ingin malam ini terjaga terlalu lama, dan mengganggu tidurnya yang lelap.

Lampu kamar ini sengaja aku matikan, dan hanya menyisakan lampu tidur. Namun, netraku masih mampu menatap jelas wajahnya yang teduh. Mungkin karena dia bagaikan lentera penerang dalam gelap. Ya, dia menemukanku dalam ketersesatan, dan membawaku keluar dari ruang hati gelap yang penuh luka.

Rambutnya yang lembut, kuusap dengan hati-hati. Samar-samar suara napasnya yang bisa kudengar itu, seolah bisa meluruhkan kesedihan di hatiku malam ini. Si manis yang tengah bermimpi ini, ku beri nama Nora. Sosok malaikat kecil yang diturunkan Tuhan ketika musim panas, dia adalah alasanku untuk tetap tinggal, bertahan, dan terus bekerja keras.

Sejujurnya, melihatnya seperti ini dapat menimbulkan rasa penyesalan terdalam. Ya lagi-lagi aku menghakimi diriku sendiri, andai saja aku tidak melakukan kecerobohan dan lebih berhati-hati. Mungkin gadis kecil ini, tidak terkena dampaknya, dan mungkin hidupnya bisa jauh lebih baik.

Aku pun ikut tidur di sampingnya, dengan memeluktubuhnya yang sangat kecil didekapanku. Saat kumemeluknya, terlintas sebuahpertanyaan. Apakah selama ini ia bahagia menjadi anakku?

Dulcenora - SekareareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang