The deepest pain is unseen by eyes. The deepest sadness is unsaid by words.
___
Mata Jisoo terbuka perlahan. Wanita itu terdiam untuk beberapa saat, menatap lurus pada langit kamar mewah miliknya. Ia menghembuskan napas kecil lalu mengalihkan pandangan pada sisi ranjang. Sudah tidak ada pria bertubuh tinggi yang terbaring di sana, yang ada hanyalah sebuah kertas kecil di tempat suaminya itu.
Jisoo meraih kertas tersebut, membaca setiap kalimat yang suaminya tulis sendiri.
Aku ada meeting penting pagi ini dan harus segera berada di kantor. Aku juga sudah menyiapkan sarapan untukmu, jadi jangan lupa untuk makan. Maaf aku tidak membangunkanmu, sayang. Beristirahatlah, dan jangan memikirkan apapun.
—Chanyeol
Pagi ini semua terasa hampa. Tidak seperti pagi sebelumnya, ini pertama kalinya Jisoo merasakan sesak yang luar biasa. Lihatlah, kini untuk mengurus suaminya saja Jisoo tidak mampu. Tidak seperti biasanya, ia selalu bangun lebih awal dan menyiapkan semua keperluan yang Chanyeol butuhkan.
Jisoo benar-benar tidak berguna.Entahlah, ia tidak tahu lagi makian apa lagi yang harus ia keluarkan untuk dirinya saat ini.
Jisoo meremas kertas itu dengan kuat, perasaannya kini berkecamuk hebat. Jisoo lupa, bukan hanya ia yang terluka dalam keadaan ini. Park Chanyeol—suaminya bahkan lebih terluka dari apa yang ia rasakan. Jisoo selalu melupakan fakta bahwa orang-orang yang ia cintai lebih terluka darinya.
Wanita itu beranjak, dengan langkah yang gontai tubuhnya berjalan menuju kamar mandi. Jisoo membasuh wajahnya, setelah itu ia terdiam menatap pantulan dirinya di depan cermin besar. Lihatlah, itu tidak seperti Kim Jisoo pada biasanya. Wanita yang berada di pantulan itu terlihat sangat menyedihkan. Kantung mata yang besar dan menghitam, wajah pucat, rambut berantakan, dan pakaian yang sangat lusuh.
Jisoo mengepalkan tangan dengan kuat, melihat keadaannya yang sangat berantakan. Wanita itu lupa, jika dua hari ini ia tidak keluar dari kamar dan semakin besar ia lakukan dengan merenung dan menangis. Chanyeol bekerja seperti biasanya dan hanya menghubungi Jisoo sesekali, dan setelah itu malamnya pria tinggi itu akan pulang lalu menenangkan keadaannya.
Jisoo tahu pria itu sudah lelah dengan semua ini. Jisoo hanya memperburuk perasaan suaminya. Namun, ia tidak siap untuk bangkit dan menata kehidupannya seperti dulu. Jisoo terlalu takut pada kenyataan.
Jisoo menepis air mata dengan kasar. Ia benci air mata sialan yang terus berdesakan keluar. Jisoo lelah menangis, tetapi air mata itu tidak sanggup untuk ia tahan. Sudah banyak air mata yang Jisoo keluarkan, dan ia lelah dengan semua itu.
Jisoo segera keluar dari kamar mandi, matanya terlihat mengedar ke seluruh penjuru kamar. Napas wanita itu tercekat, ketika pandangannya terhenti pada sebuah foto usg yang tergantung indah dekat kaca besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Growing Pains
FanfictionI can love you with all my heart, I can give up my world to you, I can give you whatever you want, but one thing that I can't do. It is accepting a betrayal. -Kim Jisoo- In this life we must have made a mistake, and the only mistake I regret the...