Meldi meremas rok nya, lalu melepasnya dan menciptakan kerutan disana, lalu mencengkramnya kembali. Itu yang sedari tadi ia lakukan karna merasa sangat gugup.
Ia sama sekali tak memalingkan wajahnya dari seorang laki-laki yang saat ini terbaring diranjang UKS dengan lengan kirinya yang ada diatas wajah untuk menutupi matanya.
Meldi benar-benar fokus memperhatikan laki-laki itu sampai ia tak sadar bahwa banyak anak yang sedari tadi keluar masuk UKS untuk mengambil obat-obatan.
"Gue mau tidur. Kalo ada satu serangga atau kotoran yang nyentuh badan gue, lo gue jadiin babu."
Kalimat itu yang sedari tadi terngiang-ngiang dikepala Meldi, sekaligus membuatnya tersiksa karna harus fokus memperhatikan laki-laki itu untuk memastikan agar tidak ada serangga atau kotoran yang menyentuh badan laki-laki itu.
"Permisi, gue minta obat merah. Permisi? Dek?"
Meldi terjengit saat seseorang menepuk bahunya. Meldi menoleh kearah orang itu dengan cengiran yang menunjukkan jika ia merasa bersalah.
"Ah, maaf Kak."
Meldi berdiri dari duduknya, ia berjalan kearah lemari untuk mengambil obat merah dan memberikannya pada seorang gadis yang sudah diduga adalah kakak kelasnya.
Nera, nama yang tertulis di name tag gadis itu. Nera tersenyum manis kearah Meldi saat obat yang ia butuhkan sudah ada ditangannya. "Makasih ya," ucapnya dengan ramah.
Meldi membalas senyuman itu lalu menganggukan kepalanya.
"Oh iya, dia bukannya Dheo?" tanya Nera sambil menunjuk dengan mata kearah laki-laki yang terbaring diatas ranjang.
Meldi juga ikut menoleh kearah tunjuk kakak kelasnya itu. "I-iya kak. Dia lagi tidur."
"Terus, kok sama lo diliatin sampe segitunya. Lo suka sama dia ya?" goda Nera sambil mencolek pipi Meldi.
Meldi menggeleng tegas. "Enggak Kak enggak. Tadi itu..."
"Gue bercanda kok, santai aja kali. Sih, pipi lo merah tuh," goda Nera sekali lagi.
Meldi menggeleng. Pipi nya memerah karna ia menahan malu karna kepergok memandangi Dheo, bukan hal yang seperti yang dipikirkan oleh Nera.
"Oke, kalo lo gak mau ngaku gak masalah kok. Kalo ada perasaan jangan terus-terusan dipendem. Terkadang gak apa-apa kalo cewek ngungkapin perasaannya lebih dulu, jangan cuma nunggu, nanti lumutan loh."
Setelah mengucapkan itu, Nera berjalan keluar UKS, sesekali ia menoleh kearah Meldi lewat jendela dengan senyum bermaksud menggoda, hingga Nera benar-benar hilang dari pandangan Meldi.
Meldi memberengut, ia nampak kesal. Padahal ia tak menyukai Dheo, tapi kenapa Nera seyakin itu untuk berbicara seperti tadi.
Meldi kembali duduk dikursinya yang terletak disamping ranjang Dheo. Ia memikirkan ucapan Nera yang berhasil menambah beban pikirannya.
"Terkadang gak apa-apa kalo cewek ngungkapin perasaannya lebih dulu."
Meldi menggosok wajahnya, bagaimana bisa ia menyatakan perasaanya pada Shelan. Membayangkannya saja sudah membuatnya jantungan, apalagi bicara langsung, mungkin saja ia akan mati ditempat.
Meldi kembali menatap wajah Dheo yang hanya terlihat hidung, bibir dan dagunya.
Hingga Meldi melebarkan matanya saat melihat seekor lalat tengah terbang diatas hidung Dheo. Meldi berdiri, ia mengibaskan tangannya dengan hati-hati untuk mengusir lalat itu.
Jangan sampai lalat itu menyentuh badan Dheo, bisa-bisa ia akan menjadi seorang babu, lagi?
Meldi meniup bahkan mengusir lalat itu dengan tangannya, namun lalat itu semakin mendekat kearah wajah Dheo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arshelan
Teen FictionNasib seringkali dikonotasikan dengan hal-hal buruk, negatif, dan kesialan. Sementara takdir adalah sesuatu atau peristiwa yang tidak bisa diterka sama sekali karena itu rencana tuhan. Lantas, bertemu dengan Shelan apakah sebuah nasib atau takdir? S...