47. Bersyukur

1K 124 42
                                    

Sebelumnya, ucapin dulu HUT RI KE-75 ya❤️❤️❤️❤️❤️

•••

"Mei, lo kudu minum obat!" desak Rega seraya mencekoki antimo ke mulut Meira. Hm ... kekerasan.

Meira menggeleng-gelengkan kepala kuat, membuat Rega benar-benar kewalahan, bahkan, berkali-kali obat yang dibawanya hampir terjatuh ke dasboard.

"Lo kalau nggak minum obat ntar muntah, Nyet!"

Meira menggeleng lagi, ia membekap mulutnya sendiri. Meira tak suka obat, obat itu pahit, walaupun fungsinya untuk menyembuhkan. Meira akan lebih suka obat dalam bentuk sirup. Seperti anak kecil.

"Eh, liat, tuh, ada Jimin!" Alih Rega seraya menunjuk langit.

Hal ini membuat Meira refleks menoleh, dan saat itu pula, Rega tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia segera memasukkan paksa pil kecil warna merah muda itu ke mulut Meira.

Setelah pil itu masuk dengan mulus ke tenggorokannya, gantian Meira yang cengengesan. "Nggak pahit ternyata."

Rega berkacak pinggang dengan bibir yang mencebik, kesal pada Meira. Sudah dibilang, obat kalau langsung di teguk, tak akan terasa pahitnya. Tapi Meira tetap saja bandel, sehingga Rega harus mengeluarkan tenaga lebih ekstra.

"Kan emang. Lo kok bilang pahit mulu?"

Meira meraup wajah Rega, kemudian memutar-mutar kulitnya secara abstrak. "Hehe."

Rega menjauhkan wajahnya. Ia memandang ke arah kaca mobil, asal jangan menatap wajah Meira. Apa Meira ini tak tahu, kalau hal sepele seperti itu bisa membuat jantung Rega berpacu kencang? Astaga, Rega jadi malu sendiri. Ia mudah baper, padahal Meira terlihat biasa-biasa saja.

Setelah Ace, Anna, dan Luluk menaiki mobil, mereka segera berangkat pada pukul 3 sore. Ah, hampir lupa. Rega juga mengajak Joko—supir keluarganya. Alasannya, agar ia bisa gantian menyetir dengan Joko.

Suasana dalam mobil benar-benar ricuh. Nyanyian karaoke mellow lagu kemesraan dinyanyikan dengan sentuhan beatbox dari Rega dan suara emas Ace yang fals benar-benar semakin memperkeruh suasana.

Meira rasa, bahwa kendaraan di dekat mobil mereka bisa mendengar kehebohan dalam sini.

Posisi duduk mereka dalam mobil adalah: bagian kursi depan terdapat Joko dan Luluk. Sementara pada kursi bagian tengah, diduduki oleh seluruh sisa manusia yang ikut.

Benar, mereka berempat.

Ace, Anna, Rega, dan Meira.

Ace dan Anna tak mau duduk di kursi belakang, sedangkan Rega pun ikut tak mau mengalah. Padahal Rega sudah besar, tapi tingkahnya masih seperti anak-anak. 

Jadilah posisi Anna sekarang dipangku Rega, dan Ace yang duduk terjepit di samping Meira.

Sumpek.

Sudah seperti piknik memang. Ah, tapi ada yang kurang. Sean dan Shinta tidak ikut, padahal Rega sudah berupaya keras mengajaknya.

Menurut Sean, adanya Joko dan Luluk sudah cukup menjaga mereka berempat, ditambah pekerjaan Sean yang tengah menumpuk tak mau ditinggal semakin memperkuat alasan.

Padahal, kalau mereka berdua ikut, Rega yakin, suasana mobil pasti semakin morat-marit.

Lama mereka berisik, hingga akhirnya satu-persatu dari mereka tertidur. Memasuki pukul 6 petang, mereka singgah sejenak di sebuah masjid, sekaligus makan malam untuk mengganjal perut.

Setelah melewati perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya mereka sampai pula di rumah Luluk pada pukul 7 malam.

Pendopo Desa menyapa mereka kala memasuki perkampungan untuk pertama kalinya. Meira menghela napas lega. Sebab, dirinya sudah ingin muntah. Meira cukup salut pada obat yang dicekoki Rega sebelumnya. Benar-benar manjur. Obat itu mengurangi rasa mual Meira berkali-kali lipat, hingga membuat perjalannya terasa cukup menyenangkan.

Regaska (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang