Ch. 12

392 67 32
                                    

"Bunaa, adek pulang," suara jeongin menggema didalam rumah. Jeongin berjalan menyusuri lorong pendek dirumahnya, kemudian berteriak memanggil yoona. Ia menaiki tangga dan berhenti di anak tangga terakhir. Jeongin berusaha menelisik lebih jauh, berteriak memanggil sang bunda dan tetap tak ada sahutan. Hanya suara gemericik air dari dalam kamar mandi yang mengisi pendengarannya.

"Bunaa? Ini buna bukan?" Si kecil menempelkan telinganya di pintu kamar mandi, berusaha mendengar kedalam.

Belum selesai ia menempelkan telinganya, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka, dan sosok minho yang sedang mengeringkan rambut muncul dihadapannya.

Minho sempat berjengit sebentar sebelum akhirnya mengatur ekspresi dan berjalan menjauh mengabaikan jeongin. Ini sudah lebih dari satu bulan, dan minho masih mengacuhkan jeongin.

Sejak jeongin ingkar janji, minho selalu menghindarinya. Ia berangkat kerja sebelum jeongin bangun, dan pulang kerja setelah si rubah kecil tertidur. Minho menutup akses komunikasi dengan jeongin. Mengabaikan panggilan seluler, tidak membaca pesan yang jeongin kirim, bahkan ia tak pernah lagi menelepon kerumah untuk sekedar bertanya tentang adik kesayangannya.

Jeongin rindu minho.

"A-abang.." suara jeongin terdengar tercekat. Kepalanya mendongak menahan tangis yang ingin tumpah.

Minho berhenti. Jarang sekali jeongin memanggil dirinya 'abang'. Dan jika sang adik telah memanggilnya seperti itu, minho merasa bahwa dirinya mulai melewati batas.

"A-adek kangen abang," jeongin menjeda sebentar kalimatnya.

Jeongin melihat minho dengan mata yang memerah, siap untuk menumpahkan air mata, "Abang engga kangen adek, iya? Abang udah engga sayang adek lagi?"

Minho tak tahan. Mustahil baginya untuk tidak rindu pada adiknya itu. Feromon candu jeongin yang menjadi kesukaannya, tawa manis adiknya itu, minho rindu. Tetapi sekarang ia memilih untuk menahan rasanya, dan berjalan meninggalkan jeongin yang kini tengah menangis tersedu-sedu.

 Tetapi sekarang ia memilih untuk menahan rasanya, dan berjalan meninggalkan jeongin yang kini tengah menangis tersedu-sedu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bi, coba kamu kontrol emosi kamu ke langit. Dia itu tetep orang penting buat aku, bi!" Felix membanting pintu kamar dan mulai berteriak.

"Lix, listen. I will never do such thing if he doesn't pull the trigger. Kamu tau aku kan? Kamu kenal dan hafal karakterku. Aku takut lix," changbin mengerang frustasi.

"Kamu takut apa sih, bin? Mark my words, bintang. Kalau aku disuruh pilih kamu atau langit, aku bakal pilih langit," tegas felix.

Changbin terkejut mendengarnya. "Kamu engga tahu ketakutanku, lix. Dan selama ini, setelah semuanya, kamu bisa dengan mudahnya pilih langit?"

changbin tertawa miris, "Aku kira aku lebih berharga dimata kamu, lix. Tapi ternyata temen sialan kamu itu lebih penting ya."

𝘴𝘦𝘯𝘫𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢 ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang