"Mau kemana pak?"
"Mau ketemu kepala sekolah yang tadi, katanya ada yang ingin disampaikan. Saya pergi sendiri aja. Lebih baik kamu lanjut kerja di ruang cctv." Chan berujar demikian kepada Minho. Minho yang memang bertugas untuk mendengarkannya pun bergegas ke ruang cctv.
Chan sudah mengganti pakaiannya. Kini penampilannya terlihat lebih santai. Dia memakai celana jeans hitam dengan kemeja putih. Tas besar berisi beberapa setelan kotor berada di pundaknya. Ia akan mampir ke tempat laundry untuk menaruh setelan itu dan mengambil beberapa yang sudah bersih. Chan punya rumah. Hanya punya. Dia lebih suka berada di kantornya. Lagipula dia tidak lagi punya alasan untuk pulang.
Mobilnya melaju dengan pelan. Kacanya terbuka dengan lebar. Musik dengan beat cepat diputar dengan sangat keras hingga membuat bahu Chan bergoyang-goyang. Tapi tiba-tiba ada yang menghubunginya. Chan menutup jendelanya, mengecilkan musiknya, dan mengangkat panggilan itu. Matanya masih fokus ke jalanan, ditambah lagi dengan telinganya yang juga harus fokus.
"Kumohon jangan menghubungiku lagi. Kita sudah berpisah hampir satu tahun. Aku sudah tak mengingatmu, kau juga harus melupakanku. Jangan egois. Dunia kita sudah berbeda, apalagi jalannya." Chan memasang wajah datar ketika mendengar sapaan mantan istrinya. Moodnya hancur begitu saja. Tolong sehari saja jangan ganggu aku! Batin Chan berteriak.
Chan semakin marah. "KAU GILA?! KAU MEMINTAKU BERTANGGUNG JAWAB ATAS ANAKMU?" Chan menjeda perkataanya untuk mengontrol amarahnya. Dia menarik nafas dalam lalu menghembuskannya. "Dengar, dia bukan anakku. Kita sudah lama berpisah. Jangan minta aku melakukan hal yang tak akan aku lakukan. Aku tak mau hubungan kita memburuk hanya karena keegoisanmu. Kalau kau masih melakukan ini padaku, aku akan menuntutmu. Pergi temui laki-laki itu dan berhentilah menghubungiku."
Chan langsung memutus panggilannya. Dengan secepat kilat dia melupakan kata-kata mantan istrinya dan kembali melakukan kesenangannya yang tadi. Tak lama kemudian mobilnya menepi ke sebuah restoran. Mata Chan langsung terhibur. Setidaknya dia akan makan enak dan melupakan pekerjaannya untuk sesaat.
Hampir saja kakinya melangkah masuk ke restoran, tapi lagi-lagi sebuah panggilan membuatnya geram. Ketika melihat siapa yang menghubunginya, dia lebih geram lagi. "SIALAN KAU! KENAPA? ADA APA?"
"SIAL! JANGAN BIARKAN DIA MASUK ATAU KUBUNUH KAU!!"
Chan terlihat sangat terburu-buru. Dia mengendarai mobilnya dengan sangat ekstrim. Matanya menatap tajam ke arah jalanan. Dia bahkan tak segan mengumpat balik ke orang-orang yang tak suka caranya berkendara.
Dia hanya ingin cepat sampai di rumahnya.
"Chan! Sorry banget." Melihat wajah Changbin yang merasa bersalah, Chan jadi semakin marah.
"ARGHH!! APA YANG KAU LAKUKAN DISINI?" Teriak Chan tiba-tiba.
Jangan salahkan Chan apabila dia menggunakan kekerasan kepada wanita hamil. Mantan istrinya itu sungguh tak tau malu. "Chris, dengarkan aku. Aku akan berubah. Aku janji. Tapi tolong bantu aku. Papa bisa terkena serangan jantung kalau tau hal ini."
Chan langsung melunak. Entah kenapa setiap kali mendengar kata orangtua, dia tak bisa mengatakan apapun selain mengangguk. Bodohnya Chan yang pernah mengatakan hal itu kepada mantan istrinya.
"ARE YOU KIDDING ME?" Kesal Changbin ketika melihat Chan mengangguk begitu saja. Itu bodoh, sangat.
"Ini hanya untuk papanya." Singkat Chan yang kini bersuara lirih.
"Ini membuatku gila. Hanya karena itu kau langsung mengangguk? Wah, ini membuatku gila. Dia mengusikmu beberapa bulan terakhir dengan bermacam-macam rayuan, tapi kau tak bergerak sedikitpun. Hanya karena dia berkata bahwa ayahnya akan terkena serangan jantung, kau langsung mengiyakan? Wah wah wah, aku akan bertepuk tangan untukmu. Lebih baik menjadi playboy daripada menjadi sepertimu." Changbin keluar dari sana sambil bertepuk tangan. Chan hanya mengedikkan bahunya sekaligus berfikir. Mencari-cari ide untuk menangani mantan istrinya yang kini berubah menjadi stalker.
Chan berdehem pelan. "Duduklah." Mantan istrinya langsung duduk dengan tenang sambil menatapnya. "Aku melakukan hal ini untuk papamu, bukan untukmu, apalagi untuk janin yang ada di kandunganmu. Aku tak tau siapa ayahnya, apakah masih si brengsek yang merebutmu dariku atau sudah berubah, aku tak tau dan tak mau tau. Jangan usik kehidupanku, jangan datang ke rumahku, jangan datang ke kantorku, jangan menghubungiku. Aku yang akan melakukannya jika aku punya waktu."
"Tapi Chris, itu terlalu..."
"Kalau tak mau juga tak apa. Lagipula kau pasti akan mencari pria lain jika aku menolak." Chan berjalan ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa diminum. Sayang, kulkasnya kosong. Jadi dia kembali ke ruang tengah dan memperhatikan mantan istrinya.
Mantan istrinya beranjak dari sofa. "Oke."
"Intinya jangan ganggu kehidupan satu sama lain. Kalau sudah paham, keluar dari rumahku."
Chan bernafas lega ketika mantan istrinya keluar dari rumahnya. Dia buru-buru menghampiri pintu utama dan mengganti kodenya. Ia akan menggantinya dengan apapun yang tidak akan diketahui mantan istrinya. "Karena hari ini aku melihat apa yang ingin aku lihat, kode aksesnya tanggal hari ini saja ya?" Chan menimang-nimang pilihannya. "Lagipula hari ini juga tanggal cantik. Apa salahnya."
Tiba-tiba sebuah pesan masuk dari sekretasinya. Pesan itu berisi bahwa kepala sekolah yang akan ia temui sudah menunggu di restoran. Chan memukul kepalanya dengan keras. Bisa-bisanya dia lupa dengan janji itu.
"Kenapa tiba-tiba hujan deras begini." Umpat Chan ketika tiba-tiba mobilnya diguyur hujan deras.
Chan semakin memperlambat lajunya karena jalanan pun berubah licin karena air hujan. Kalau ia tidak berhati-hati, bisa-bisa terjadi hal yang tidak diinginkan. Chan tidak mau tubuhnya, asetnya yang berharga, mempunyai luka. Dia masih muda. Dia masih ingin menikah lagi. Dan jangan lupa, dia juga belum punya keturunan untuk meneruskan perusahaan.
Karena perjalanan masih cukup jauh, dia punya waktu untuk merenung. Kebiasaanya ketika sedang turun hujan adalah menangis. Dia selalu terbawa emosi ketika melihat jutaan air jatuh tepat di depan matanya. Entah terlalu kagum dengan fenomena itu, atau diakibatkan oleh apa yang ia renungkan. Dan dia hanya akan berhenti ketika punya teman untuk diajak bicara, hanya itu solusinya.
Saat sedang menikmati air matanya, tiba-tiba seseorang menghubunginya. Namun kali ini ia tersenyum ketika mendengar suara disana. Orang tua dan kedua adiknya menyapa dengan penuh semangat. Chan jadi mendambakan liburan ke Australia.
"Chris harus pergi ke sebuah pertemuan mom, dad. Tapi tiba-tiba turun hujan. Damn it! I hate this day!"
"Untungnya aku membawa payung."
"Okay. Bye fams!!"
Karena baru saja berbincang dengan keluarganya, kesedihannya pun menghilang. Kebetulan sekali. Tak lama setelah itu Chan sampai di dekat restoran itu. Tapi kenapa sudah tutup?
"Anak itu pasti ingin demam." Chan keluar dari mobil sambil membawa payungnya. Melihat seorang anak berseragam SMA duduk di tangga restoran membuatnya sedikit kesal sekaligus iba.
"Hufftt.."
Chan menghampiri pemuda itu dan memayunginya. Dia membiarkan tubuhnya kehujanan. Tak masalah. Tapi yang menjadi masalah adalah ketika pemuda itu mendongak dan menatapnya. Chan bagai disambar petir.
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
[4/4] MR. WET ✓
FanficSeungmin itu manusia pas-pasan. Tapi tiba-tiba dua pangeran datang dan memperebutkannya. Masalahnya dua-duanya itu duda menggoda, kaya, dan tampan. Sulit untuk memilih diantara mereka. Lalu Seungmin harus bagaimana? ©31097CB; 2020.