"KAU mau menggantikanku?"
Hansol mengalihkan pandangannya dari jalanan basah. Dowoon meliriknya dari ujung mata. Hansol bisa melihat matanya yang sayu dan kedua tangannya yang terkulai di atas setir. Hansol mengangguk. Jawabannya membuat Dowoon memelankan laju kendaraan dan berhenti di sudut jalan.
Hansol melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu. Sepatunya kotor saat kakinya menginjak jalanan becek. Hansol segera bertukar tempat dengan Dowoon yang bertukar kursi dengan tetap berada di dalam mobil, terlalu lelah membuka pintu meski hanya ada gerimis di luar. Hansol menyesuaikan kursi dan letak spion tengah, mengernyit begitu menemukan Yerim tampak sibuk. Sebuah keranjang kayu besar ada di dekat pahanya. Tubuhnya tampak tenggelam dalam jas yang Hansol pinjamkan.
"Apa yang kau lakukan?"
Yerim mengangkat wajahnya, ada sinar pada kedua matanya yang cantik. Caranya menatap Hansol membuat laki-laki itu teringat adiknya. "Kau pasti mau kopi, bukan?"
"Aku mau." Dowoon menyela, merendahkan punggung kursinya hingga Yerim terpaksa bergeser untuk memberi tempat. "Aku mau kopi panas. Di sana ada air panas, bukan?"
Yerim mengiyakan. Mereka tidak bicara lagi. Dowoon tertidur, kepalanya terkulai di sisi jendela sementara tangannya bersilang di depan dada. Hansol mengusahakan agar laju mobil tidak kacau, tidak mau mengganggu tidur Dowoon atau membuat Yerim terkejut. Hansol mendengar seruan senang Yerim saat berhasil menemukan apa yang dicarinya dari dalam keranjang. Bunyi plastik dibuka dan aroma kafein menguar di udara. Yerim mulai membuat kopi untuk mereka.
Uap panas menggelitik wajahnya saat Yerim menyodorkan segelas kopi hitam mengepul. Hansol mengambilnya dan mengucapkan terima kasih, lalu menyesap hangat kafein dengan satu tangan masih menyetir. Hansol meletakkan gelas kopinya di cup holder dekat perseneling, menyadari ada gelas kopi lain di sana. Dia melirik Dowoon sudah terlelap. Rambut hitamnya yang acak-acakan jatuh di atas dahi, dan meski Hansol mengakui kalau Dowoon paling dewasa di antara mereka, wajah tertidurnya justru berkebalikan dengan pernyataan barusan.
Hansol mengalihkan pandang pada jalanan, rintik hujan semakin rapat dan deras. Dia mengamati wiper yang bergerak, menyapu tetes air di kaca depan.
"Apa kopinya enak?"
Hansol melirik spion tengah, senyum ramah Yerim tertangkap sekilas. Hansol kembali fokus pada jalanan. "Kopinya enak. Tidak terlalu pahit atau manis."
"Itu kopi instan, aku juga menemukan gelas kertas di dalam keranjang." Yerim tertawa begitu mendengar Dowoon menggerutu dalam tidurnya. Percakapan mereka pasti mengganggu waktu lelapnya. "Dia seperti bayi."
Hansol mengerutkan kening saat Yerim bergerak mendekati Dowoon. Selimut coklat yang terlihat hangat membungkus tubuh Dowoon yang semakin lelap. "Apa saja yang ada di dalam keranjang itu? Selain uang tentunya."
Tadi, mereka menemukan bahwa ada uang yang diletakkan di dalam keranjang dalam mata uang dolar. Yerim bilang uangnya sangat banyak dan cukup untuk biaya perjalanan mereka jika digunakan baik-baik. Hansol dan Dowoon langsung sepakat untuk membiarkan Yerim yang menyimpan uangnya.
"Tidak banyak. Hanya beberapa bungkus kopi instan, ramen cup, gelas kertas, termos air panas, dan beberapa cemilan ringan." Yerim mendengus, terdengar tidak puas. "Sepertinya kita harus berhenti untuk membeli barang-barang yang diperlukan."
"Ide bagus. Aku akan cari toko terdekat."
Yerim menjawab dengan gumaman. Hansol memperhatikan jalan yang membentang di depannya. Tetes hujan semakin rapat, wiper bergerak lebih cepat. Pemandangan di depannya mulai buram. Hansol ragu akan aman mengemudi dalam keadaan seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanficHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...