⚠️Part ini bakal lebih depresif dan gelap ketimbang sebelumnya. Menyinggung sedikit bagian tentang 'bunuh diri' dan efek yang ditinggalkan pada orang-orang di sekitarnya. Tolong dibaca dengan bijaksana, boleh diskip jika chapter ini termasuk isu sensitif bagi pembaca.⚠️
***
SEPULANG dari pasar malam, mereka memutuskan tidak lagi tidur beralas tikar dan atap berupa langit penuh bintang. Dowoon dan Hansol sepakat untuk melanjutkan perjalanan. Yerim telah mendengar cerita tentang kota yang agak modern di semenanjung. Dia menceritakan gagasan itu pada kedua temannya, yang langsung setuju dan segera membereskan perlengkapan mereka.
Dowoon mengambil giliran pertama untuk mengemudi. Jalanan sepi saat sedan tua mereka melaju di atas aspal. Yerim memperhatikan titik-titik cahaya yang semakin kecil di belakang mobil mereka. Mereka telah meninggalkan Kota Seribu Bintang. Jauh di belakang, Yerim mengenang jalanan di malam hari, Kota Maren, Festival Kembang Api Waktu, tarian cahaya di Iclyn, dan gugusan bintang di langit Antares.
"Apa yang kau pikirkan?"
Yerim menatap sepasang mata Dowoon yang meliriknya dari spion tengah. Yerim tersenyum. "Hanya memikirkan soal perjalanan kita," jawabnya.
Dowoon tidak membalas. Keheningan di antara mereka berlangsung lama, mungkin setengah jam, atau lebih. Hansol sendiri tertidur beberapa saat setelah mereka berkendara, dia memang butuh istirahat mengingat dia akan mengemudi.
Mereka memasuki daerah dengan padang rumput luas membentang di kiri dan kanan jalan. Kendaraan melaju di jalan yang tak lagi mulus. Batu-batu kecil di sepanjang tanah berlapis pasir telah membuat Hansol terbangun dari tidurnya.
"Aku tidak tahu padang rumput bisa seindah ini," kata Dowoon.
Yerim memperhatikan pemandangan di luar jendela. Hamparan lautan rumput berwarna kuning gersang menari mengikuti arah angin. Pohon-pohon bertengger di kejauhan, tampak seperti siluet kesepian di tengah padang rumput yang sunyi. Dowoon menghentikan mobil di pinggir jalan. Baik Yerim maupun Hansol tidak bertanya kenapa. Padang rumput ini terlalu menakjubkan untuk dilihat sekilas.
Yerim melangkah lebih jauh dalam kumpulan rumput setinggi betis. Ujung tanaman yang tajam serasa menggelitik. Yerim mendongak, menatap langit biru yang bersih bagai tanpa setitik awan.
"BOO!"
Yerim menjerit dengan teriakan tiba-tiba di belakang telinganya. Suara tawa Hansol membahana, puas berhasil membuat Yerim hampir menjatuhkan jantungnya.
"Choi Hansol!" Yerim berteriak marah, berlari mengejar Hansol yang telah meninggalkannya.
Hansol berlari sambil menoleh ke belakang, menertawai Yerim yang kesusahan mengejarnya. Yerim melihat Dowoon di kejauhan, mengamati mereka dengan bingung. Yerim menahan senyumnya begitu melihat Hansol berlari mendekati Dowoon secara tidak sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanfictionHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...