ADA terlalu banyak malam di mana Dowoon terbangun dengan jeritan. Kali ini dia juga terbangun karena jeritan keras membuatnya tersentak dan menutup mulutnya dengan kedua tangan, nyaris mengira kalau jeritan itu berasal dari dirinya. Namun, suara jeritan itu masih terdengar. Dowoon menoleh dan menemukan Hansol menjerit dalam tidurnya.
Dowoon menyibak selimut hingga jatuh ke lantai dan melompat ke ranjang di sampingnya. Dia berusaha membangunkan Hansol, mengguncang lengannya dan meneriakkan nama laki-laki itu. Entah mimpi buruk apa yang dialami Hansol.
Hansol tersentak dan bangun dalam keadaan duduk. Matanya terbuka lebar dengan kengerian di bawah poni pirangnya yang acak-acakan. Dowoon bisa melihat kepanikan mulai merambat pada wajah Hansol. Dowoon mengangkat tangannya, hendak mengelus rambut laki-laki itu. Satu-satunya cara yang dia tahu bisa menenangkan Hansol saat dia mulai panik.
Namun, Hansol menepis tangannya yang bahkan belum mendarat di atas rambut pirang Hansol.
"Aku ingin pulang." Hansol bilang begitu dengan getar pada suaranya dan tatapannya yang tidak fokus.
Dowoon membasahi kerongkongannya yang kering karena baru bangun tidur. "Ke mana?" tanyanya dengan suara serak.
"Ke manapun selain di sini!"
Dowoon terkesiap, sisa kantuknya yang sebelumnya masih ada menguap seketika. Dia memandang Hansol dengan tatapan bingung.
"Kau pikir kita bisa seenaknya pergi dari sini?" Dowoon segera merutuki nada sinis pada suaranya. Demi apa pun, dia sungguh tidak berminat memulai pertengkaran konyol di pagi hari.
"Kenapa tidak?" tantang Hansol.
Dowoon menahan diri untuk tidak membenturkan kepala laki-laki di depannya ke tanah. "Karena kita tidak bisa. Sial! Memang kau tahu cara untuk kembali?" Melihat Hansol terdiam membuat Dowoon semakin gencar menyudutkannya. "Aku tanya sekali lagi, memang kau tahu cara untuk kembali pada kehidupan superstar gemerlapmu itu? Tidak, bukan? Karena itu hadapi saja! Peramal sinting kemarin bilang kita tidak akan kembali sebelum mencapai ujung perjalanan ini saat kau tiba-tiba pergi keluar."
"Jangan mengomentari hidupku," tukas Hansol tajam. "Kau tidak tahu apa-apa soal kehidupan superstar gemerlapku."
Dowoon tahu sudah saatnya dia berhenti, tapi lidah kurang ajarnya sulit diam. Dia lelah dan sangat mengantuk, juga pusing. Otaknya belum benar-benar berjalan.
"Benarkah? Kalau begitu, jangan bersikap seperti aktor manja yang pilih-pilih peran." Dowoon sepenuhnya yakin wajahnya pasti sudah berubah menyebalkan sekarang.
Kemarahan Hansol tampaknya sudah pada batasnya, karena laki-laki itu maju dan mencengkeram kerah kemeja Dowoon. "Kau bukan sutradara yang mengatur bagaimana aku bersikap. Ini bahkan bukan film!"
"Maka jangan berakting!" Dowoon menatap bola mata coklat Hansol yang bergetar. "Tidak perlu bersikap seolah kau ada di depan kamera. Jujur saja pada apa yang kau rasakan."
Cengkeraman Hansol pada kerah kemeja Dowoon melonggar. "Kau tidak mengerti," katanya. "Kau tidak akan pernah mengerti."
"Kalau begitu, buat aku mengerti." Dowoon menurunkan suaranya. "Buat aku dan Yerim mengerti. Kami tidak akan bisa paham jika kau hanya terus berpura-pura."
Tarikan kuat Hansol pada kerah kemejanya membuat Dowoon pusing, tapi dia tetap memaksa menatap kedua mata Hansol yang terlihat marah.
"Aku akan jadi beban, kau tahu? Aku hanya akan jadi beban jika aku bercerita. Semuanya hanya akan semakin sulit jika aku mengeluarkan emosiku!"
"Tidak." Dowoon menahan diri untuk tidak meninju Hansol. "Kau bahkan belum mencoba bercerita. Kau yang diam, itulah yang membuat segalanya makin sulit bagi kami."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanfictionHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...