Kita, tiga garis takdir yang bersinggungan dalam suatu perjalanan,
yang saling merengkuh dalam pekat kegelapan,
yang berbinar dalam cahaya temaram.
Kita, tiga jiwa yang mendamba kebebasan
yang hatinya terpaut kerinduan
yang berpisah dengan tega, kita.
***
Namjoon mengamati lukisan di depan matanya. Tampak belakang gadis berambut pendek yang tengah memandang balkon, di mana ada dua orang laki-laki tengah memandangi bulan. Laki-laki pertama berdiri menyamping dengan punggung menyandar pada pagar. Rambut pirangnya berkibar dan berkilauan. Laki-laki satunya lagi tengah duduk di atas kursi, kakinya bertengger pada meja. Rambutnya sekelam malam dan acak-acakan. Ada batang rokok yang tersisa separuh di antara dua jarinya, masih menyala dan menyebar asap.
Sekilas, lukisan itu tampak biasa dan normal. Jika saja laki-laki pirang tidak memiliki sayap yang layu di punggungnya dan topeng yang menutupi wajahnya. Jika saja laki-laki satunya lagi tidak memiliki rantai di kaki dan tangannya, dengan ujung berupa bola besi yang tergeletak di dekat kursi. Jika saja gadis yang tengah mengamati mereka berdua tidak terjebak di dalam sekat kaca transparan.
Namjoon menghela napas, berdecak kagum dengan tulus. Dia suka bagaimana lukisan di depannya memancarkan aura kerinduan yang kuat. Rasanya seperti dicengkeram sepi dan juga perih, juga kehangatan yang entah mengapa terasa begitu aneh dan nyaman di saat yang bersamaan. Namjoon mengagumi luapan emosi yang terpancar dengan jujur dari lukisan di depan matanya.
Namjoon memejamkan mata, membiarkan kenangan yang dibayangkan saat kuas bercampur cat menari di atas kanvas merasuk ke dalam kepalanya. Namjoon bisa melihat sedan tua melaju di sepanjang garis pantai. Langit berbintang cerah dan juga aurora yang tampak begitu dekat. Namjoon membayangkan padang rumput luas di tengah gurun gersang, juga matahari yang membentuk horizon merah di ujung paling timur. Dia bisa mendengar suara perbincangan yang jujur pada saat dini hari, dan kehangatan yang melingkupi dengan lembut.
"Indah," katanya. Kelopak matanya perlahan terbuka. Namjoon merasakan kerinduan, dia tersenyum sedih. "Terlalu menyedihkan jika kenangan seindah itu harus dilupakan."
Namun, apa yang bisa Namjoon lakukan?
Jawabannya tidak ada. Jadi, Namjoon berbalik, berjalan lurus menjauhi lukisan yang kini berhadapan dengan punggungnya.
Namjoon tiba-tiba menghentikan langkahnya di persimpangan, terkejut melihat seorang gadis yang berjalan berlawanan arah dengannya, menuju tempat lukisan berada. Namjoon menoleh ke kiri, menemukan seorang laki-laki pirang menuju ke arahnya. Namjoon menoleh ke kanan, menemukan laki-laki dengan wajah bosan juga berjalan ke arahnya.
Namjoon menunduk dan tertawa geli. Satu dari sekian banyak hal yang tidak bisa Namjoon mengerti adalah tentang bagaimana garis takdir bekerja. Lucu rasanya melihat garis yang semula hanya bersinggungan kembali bertemu, setelah perpisahan tega yang harus mereka hadapi dan mengorbankan kenangan berharga.
Rasanya seperti keajaiban, terlalu magis untuk menjadi kenyataan. Seperti dongeng anak-anak dengan akhir bahagia selamanya. Seperti pertolongan yang datang di saat-saat tergenting. Namjoon masih sulit percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanfictionHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...