HANSOL baru meletakkan barang-barang mereka di kamar. Dowoon langsung merebahkan dirinya di ranjang, mendeklarasikan rencananya untuk tidak bangun lagi sampai musim dingin berakhir. Hansol hanya menggelengkan kepala, tahu kalau Dowoon tidak serius dengan ucapannya.
Hansol memilih berjalan mendekati jendela. Jemarinya yang tak lagi dilapisi sarung tangan menyentuh permukaan kaca, dingin segera menjalar dari ujung jarinya. Hansol menggigil, tapi mempertahankan matanya untuk tetap menatap pemandangan di luar.
Setiap musim punya keindahannya sendiri. Musim dingin menawarkan keindahan beku yang menawan. Hansol memperhatikan gumpalan putih yang turun dari langit, bergabung dengan tumpukan salju di jalanan, atap rumah, ranting tanpa daun, pagar, serta kotak surat.
Suara ketukan pintu terdengar, disusul pintu yang terbuka. Hansol baru hendak menegur siapapun yang ada di balik pintu karena masuk tanpa permisi, meski dia sempat mengetuk pintu. Namun, hanya Yerim yang muncul dengan wajah cemberutnya.
"Oppa!"
Hansol menaikkan alis, pandangannya beralih dari cemberut di wajah Yerim pada ransel di dekat kakinya.
"Apa yang terjadi?"
"Aku diusir dari kamarku sendiri." Yerim berjalan masuk sambil menyeret ranselnya. Pintu ditutup, dan Yerim mulai mengeluarkan keluh kesahnya sebelum Hansol sempat bertanya lebih jauh. "Ada satu kelompok yang baru tiba. Semua kamar penuh dan salju di luar terlalu lebat. Aku tidak tahu kenapa aku sial sekali sehingga harus mengalah."
"Um, berapa orang?" Hansol memikirkan manajemen penginapan yang payah. Mengusir seorang tamu? Mungkin hanya terjadi di dunia aneh ini.
"Empat!" seru Yerim, mendudukkan dirinya di ranjang yang kosong. Yerim melirik Dowoon tidak bergerak sama sekali, kecuali bernapas, mungkin dia tidur. "Semuanya laki-laki. Aku tidak mungkin membiarkan mereka membeku di luar. Pegawai penginapan menawarkan selimut ekstra dan sarapan gratis sebagai kompensasi."
Hansol segera paham kalau mereka tidak punya pilihan lain. Lagipula, ini bukan kali pertama mereka bertiga terjebak dalam satu kamar yang sama.
"Kau bisa ambil ranjang yang itu," kata Hansol. "Aku akan tidur di-"
Dowoon tiba-tiba bergerak, merentangkan tangan dan kakinya agar seluruh tubuhnya memakan tempat di kasur. Tindakan kekanak-kanakan itu membuat Hansol gatal ingin melempar bantal pada laki-laki yang paling tua.
"Aku akan tidur dengan Dowoon Hyung." Hansol sengaja mengeraskan suaranya, memicing pada Dowoon yang masih berpura-pura tidur. Hansol berbicara dengan nada paling mesum yang dia bisa. "Setidaknya, aku tidak akan kedinginan. Hyung akan menghangatkanku."
Dowoon tiba-tiba melempar bantal, yang hanya berakhir di bahu Hansol karena dia dengan gesit menghindar. Wajah Dowoon memerah karena malu dan marah.
"KAU BAJINGAN CABUL!"
Dowoon berguling-guling di atas kasur, merengek tentang kesuciannya yang terancam punah. Yerim yang tidak tahan dengan sikap dramatis Dowoon akhirnya melemparkan bantalnya agar Dowoon diam.
Hansol tertawa keras.
Teman-temannya sangat berharga.
***
Hansol membuka matanya, merasakan seseorang bernapas di dekat wajahnya. Dalam penerangan yang tidak seberapa, Hansol menyadari Yerim tertidur di sampingnya, meringkuk kedinginan dalam gulungan selimut. Hansol menarik selimut Yerim lebih ke atas dan mengelus rambutnya.
Hansol berguling ke samping, tidak menemukan Dowoon. Seingatnya, mereka akhirnya memutuskan menggabungkan dua ranjang tunggal dan tidur bertiga. Dowoon seharusnya terlelap di antara Hansol dan Yerim.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
Hayran KurguHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...