11 : Tunnel

122 25 8
                                    

⚠️ Ini trigger warning paling serius. Tolong, kedepannya, apa pun yang terjadi di dalam cerita ini, tolong ingat kalo ini cuma CERITA, ok? ⚠️

***

MALAM itu hujan turun deras.

Hansol mengeratkan jaketnya, melangkahkan kakinya di koridor yang terasa sepi dan dingin. Di dalam kepalanya, Hansol membayangkan segelas coklat panas, atau mungkin secangkir teh hangat untuk meredakan dingin yang membuat tubuhnya menggigil.

Hansol baru akan berbelok di persimpangan dan menghampiri meja resepsionis, tapi seseorang muncul tiba-tiba di tikungan dan menghalangi jalannya. Rambut hitam acak-acakan dan wajah malas itu tampak begitu akrab hingga Hansol langsung mengenalinya dalam sekali lihat.

"Oh, sudah kuduga kau akan bangun."

Hansol melirik nampan berisi tiga gelas besar dan sepiring cookies yang dibawa Dowoon.

"Kau mau ke mana?" tanyanya saat Dowoon meneruskan berjalan, melewati Hansol yang masih diam.

"Kamar Yerim," jawab Dowoon tanpa menoleh. "Aku yakin dia akan terbangun."

Hansol mengerutkan kening, tapi tetap memutar arah dan mengikuti Dowoon. Hansol bertanya-tanya kenapa Dowoon begitu yakin mereka bertiga akan sama-sama terbangun tengah malam begini. Karena jika tebakannya salah, dua gelas minuman yang tersisa akan sangat sia-sia.

"Bisakah kau ketuk pintunya?"

Hansol mengangguk, mendekat ke arah pintu Yerim dan mengangkat tangannya. Belum sempat ketukan Hansol mendarat, pintu sudah dibuka dan wajah mengantuk Yerim terlihat jelas. Dia memandang Dowoon dan Hansol bergantian. Lalu, kedua matanya berhenti pada apa yang Dowoon bawa.

"Oh, sempurna." Yerim membuka pintunya lebih lebar, memperlihatkan kamar yang rapi dengan sedikit kekacauan pada selimut di ranjangnya. "Masuklah."

Dowoon masuk duluan, meninggalkan Hansol yang berdiri mematung di depan pintu. Dowoon. meletakkan nampan yang dibawanya ke atas nakas.

"Kau tidak mau masuk?"

Hansol tersentak, tidak sepenuhnya sadar saat ia melangkah masuk dan menutup pintu. Hansol memperhatikan Yerim yang merapikan selimut sementara Dowoon membuka tirai, memperlihatkan pemandangan buram akibat hujan di luar sana.

Hansol mendudukkan dirinya di pinggir ranjang dan menerima segelas susu coklat hangat yang disodorkan Yerim. "Kita tidak bisa melihat apa pun karena hujan di luar sana."

Dowoon berbalik, menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. "Hanya saja, ada sensasi tersendiri menatap hujan di luar jendela dengan segelas susu coklat hangat di tangan."

Hansol terkekeh pelan. "Kau puitis juga."

"Yah, kau bukan orang pertama yang bilang begitu."

Dowoon mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, berseberangan dengan Hansol. Yerim duduk di tengah-tengah, mengulurkan gelas pada Dowoon.

"Kita mulai lagi," keluh Yerim, tapi tidak terdengar seperti dia benar-benar mengeluh.

"Apanya?"

Yerim menoleh pada Hansol, memberikan senyuman tipis. "Melakukan hal ini, perbincangan dini hari."

Hansol tanpa sadar melebarkan senyum. Dia sama sekali tidak bisa bohong kalau dia sangat suka dengan perbincangan dini hari mereka. Terlebih jika ada segelas minuman hangat dan beberapa keping kue. Rasanya hampir sempurna. Seperti disambut kembali setelah sekian lama. Seperti berada dalam pelukan dan merasa terlindungi.

HIRAETH {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang