3 : Festival and Fireworks

144 27 17
                                    

PEMILIK penginapan yang mereka kunjungi ternyata seorang wanita dengan rambut pirang dan mata sebiru lautan. Dia tersenyum begitu Yerim dan kedua temannya masuk dan menghampiri meja resepsionis.

"Kalian sangat beruntung, aku punya dua kamar tersisa." Dia melirik Dowoon dan Hansol yang menjulang di belakang Yerim. "Jangan khawatir, salah satu kamar punya dua ranjang. Para lelaki bisa pakai itu. Omong-omong, namaku Mazarine, kalian bisa panggil aku Maz."

"Selamat malam, Maz. Namaku Yerim, yang pirang itu Hansol dan di sampingnya Dowoon." Yerim memperkenalkan diri dengan ceria. Menemui teman wanita membuatnya bersemangat.

"Kalian sangat tampan dan cantik. Kalian pasti dstang dari tempat yang jauh." Maz berucap dengan santai. "Akhir-akhir ini penginapanku ramai dengan kedatangan orang-orang dari berbagai tempat. Tampaknya banyak garis takdir yang bersinggungan."

Yerim menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi bingung. Sebagai gantinya, dia tersenyum maklum seolah-olah apa yang dikatakan Maz adalah hal biasa. "Bukankah itu bagus untuk penginapanmu?"

"Kau ada benarnya." Maz tertawa renyah, terdengar sangat bersahabat. "Apa kalian sudah makan malam?"

Yerim menggeleng pelan. "Ibumu bilang kau punya restoran yang lezat. Aku melihatnya di samping penginapan ini."

"Suamiku memang koki yang hebat." Kedua mata Mazarine berbinar bangga begitu menyebut tentang suaminya. Tampak jelas rasa cinta meluap dari bahasa tubuhnya. "Kalian bisa pergi ke restoran dan aku akan memerintahkan pegawaiku untuk membawa barang-barang kalian."

Yerim melirik tas ransel yang disandangnya. Sebelumnya, dia dan Hansol sudah membeli beberapa potong pakaian dan keperluan pribadi di toko yang mereka kunjungi. Demi kemudahan, mereka juga memutuskan membeli tiga ransel dengan ukuran sedang. Yerim ingat Hansol sempat bercanda tentang toko yang seolah-olah memang ditakdirkan untuk orang-orang seperti mereka.

"Aku akan sangat menghargainya, Maz." Yerim tersenyum sopan. "Tapi, kurasa kami butuh mandi."

***

Yerim membuka pintu kamarnya, mengawasi lorong yang sepi. Pelan-pelan, kakinya yang dibalut selop putih melangkah di lantai. Ada pegawai di balik meja resepsionis, tengah serius membaca buku tebal. Yerim berhati-hati agar tidak membuat suara, tapi pria di balik meja menyadari keberadaannya dan tersentak. Buku di tangannya ditandai dan ditutup dengan segera. Kepalang basah, Yerim memutuskan menghampiri meja resepsionis, memasang senyum manis seperti anak baik.

"Selamat malam, Miss. Ada yang bisa saya bantu?" Senyum ramah mengembang di wajah pegawai itu, dan Yerim tahu kalau senyuman yang diarahkan padanya bukan sekadar senyum bisnis. Itu senyum yang tulus dan hangat. Yerim melirik bordiran yang tertulis di kemeja pria itu.

"Umm, Michael, apa aku boleh menggunakan dapur?" Yerim sempat merasa ragu, terlebih Michael menatapnya dengan bingung sesaat. "Aku punya kebiasaan menyeduh minuman jika tidak bisa tidur."

Michael tertawa kecil. "Tentu, Anda dapat menggunakannya. Lagi pula, banyak tamu kami yang memiliki kebiasaan berkeliaran di malam hari. Jangan sungkan-sungkan, Miss Kim."

Yerim mengucapkan terima kasih, mengabaikan fakta bahwa Michael mengenalinya. Mazarine telah menjelaskan kalau semua pegawai wajib mengenali tamunya. Lampu dapur menyala, dan ada suara dentingan sendok dan gelas yang beradu. Yerim mendekat dan melihat punggung seorang laki-laki. Rambut hitam acak-acakan itu sangat akrab di matanya, padahal mereka baru kenal sekitar satu hari.

"Dowoon Oppa?"

Dowoon menoleh dari balik bahunya, garis tegang di wajahnya melunak begitu menyadari siapa yang memanggilnya. "Kau tidak bisa tidur juga?" Dia menyahut dengan nada polosnya yang khas, meski suara dalamnya cukup membuat Yerim yakin bisa mengenali laki-laki itu hanya dari suaranya.

HIRAETH {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang