10 : Wall

99 24 8
                                    

⚠️ Pengingat aja sih, ini part angst-nya Kim Yerim. Mungkin bukan angst, tapi jelas topik berat.⚠️

***

DOWOON tahu meski mereka bertiga sepakat untuk menjelajahi dunia aneh ini bersama-sama, ada saat-saat tertentu di mana mereka butuh waktu sendiri-sendiri. Dowoon suka melamun sendirian di balkon atau dekat jendela, merokok atau hanya menatap pemandangan di luar dengan berbagai pikiran berkecamuk di kepala. Ada saat-saat di mana Hansol mengatakan kalau dia butuh jalan-jalan, lalu pergi sendirian entah ke mana. Yerim satu-satunya gadis di antara mereka bertiga, dan dia punya waktu privasi yang lebih banyak.

"Aku rasa aku akan tidur seharian ini." Yerim memberi tahu saat mereka telah menerima kunci kamar masing-masing. Tangan kanan Yerim ada di kenop pintu, tangan satu lagi menggenggam kunci yang digunakan untuk membuka pintu.

"Kau tidak makan siang?" Hansol bertanya.

Yerim menggeleng, mengulas senyum lemah yang tampak dipaksa ada. "Bangunkan aku untuk makan malam."

Dowoon hanya mengamati saat punggung Yerim menghilang di balik pintu yang berdebam. Dowoon langsung merasakan hantaman dinding tak kasat mata, bagai gerbang besar yang menolak untuk dibuka.

Yerim menyembunyikan sesuatu.

"Mungkin dia lelah." Ucapan Hansol membuat Dowoon menoleh, mengamati laki-laki pirang yang tampaknya sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

"Mungkin," kata Dowoon, ragu dengan apa yang keluar dari mulutnya.

Hansol tersenyum, kelembutan terpancar dari mata coklatnya yang cerah. "Kalau begitu, aku akan masuk ke kamarku. Sampai bertemu saat makan siang."

Dowoon mengangguk diiringi senyum lemah, berbalik dan mendengar suara kunci dibuka. Dowoon mendorong anak kunci, memutarnya dan mendengar suara klik yang akrab. Handle pintu ditekan, diikuti dorongan pada pintu sederhana beraroma cat baru. Dowoon menatap pemandangan kamar sederhana dengan satu ranjang dan jendela tertutup. Dia menghela napas, berharap beban berat di dadanya turut keluar.

***

"Hyung," panggil Hansol dengan ragu.

Dowoon mengangkat wajah, menatap Hansol yang duduk di hadapannya dengan meja pembatas di antara mereka. Piring-piring bekas makan siang telah dibereskan, meninggalkan meja kosong yang ditutup selembar taplak dengan dua gelas teh di atasnya.

"Apa kau mau jalan-jalan?"

"Tumben," kata Dowoon sangsi. "Biasanya kau pergi sendiri."

Hansol tertawa pelan. "Aku sedang tidak ingin sendirian," ujarnya. Kalimat berikutnya diucapkan dengan suara lirih. "Dan kurasa banyak yang ingin kubicarakan denganmu."

Dowoon mengangguk paham. Dia menoleh, menatap jendela kaca jauh di samping ruang makan. Pemandangan dinding warna-warni terpampang cerah. Sama cerahnya dengan langit biru tanpa awan.

"Kedengarannya tidak terlalu buruk."

Jadi, mereka berdua sepakat untuk berkeliling. Meski suasana siang lumayan terik, bangunan rapat dan pohon-pohon di sepanjang jalan telah membantu menutupi sinar matahari agar tidak terlalu menyengat.

Mereka mendapat beberapa informasi penting soal kota yang mereka pijak sekarang. Namanya Kota Dailon, kota kecil dengan bangunan kotak-kotak berwarna-warni dan cuaca yang cerah sepanjang tahun. Belakangan, mereka diberi informasi bahwa Dailon adalah kota bagi para seniman. Itu akan menjelaskan tata letak kota yang unik, juga lukisan-lukisan memukau di sepanjang dinding dan berbagai toko yang menjual beragam kerajinan.

HIRAETH {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang