7 : Sky Full of Stars

135 21 5
                                    

ESOK paginya, Dowoon memutuskan melakukan apa yang disarankan Yerim. Dia akan bersosialisasi, dengan manusia. Dowoon keluar dari kamar pagi-pagi, meninggalkan Hansol dan Yerim yang masih tidur. Ruang tengah penuh dengan tamu-tamu lain yang berbincang akrab. Pada mulanya, Dowoon merasa canggung harus menyapa dan bicara banyak dengan orang-orang. Ternyata semuanya tak semengerikan yang dia bayangkan. Seorang laki-laki berparas rupawan melambaikan tangannya saat melihat Dowoon, mengajaknya bergabung.

Dengan secangkir teh dan toples berisi kue, mereka terlibat perbincangan hangat. Laki-laki itu bernama Matthew, berasal dari Alaska. Dia dan temannya ternyata sudah seminggu berada di dunia aneh ini. Matt menyarankan Dowoon untuk pergi ke Kota Antares, tujuh jam perjalanan dari Icyln.

"Jika di sini semuanya membeku, Antares lebih mirip kota musim panas. Kau harus melalui gurun panjang. Di malam hari, langit seperti kanvas hitam dengan bintang-bintang yang berserakan." Matthew menjelaskan dengan semangat.

Dowoon menaikkan alis, memasang wajah paling ragu yang dia punya. "Bagaimana bisa? Di Kota Maren, musim dingin baru dimulai. Di sini musim dingin seolah tanpa akhir."

Matthew tertawa mendengar pendapatnya. "Asal kau tahu saja, Sobat, hal paling aneh di sini adalah keberadaan kita di dunia ini. Perkara sesepele anomali musim sebaiknya tidak usah diributkan."

Dowoon tertawa, teringat pada bagaimana dia berada di dunia ini di siang hari saat dia kecelakaan di malam hari di dunia asalnya.

Dowoon berterima kasih akan saran Matthew. "Kau sendiri akan ke mana?"

"Bella selalu punya impian untuk melihat aurora, kami sudah melihatnya tadi malam." Matthew tersenyum, matanya memandang rekan seperjalanannya yang tengah tertawa bersama tamu penginapan lain.

Dowoon tidak tahu harus menjawab apa. Jawaban Matthew atas pertanyaannya tidak masuk akal. Mulut Dowoon gatal untuk berkomentar, tapi dia menahannya karena merasa Matthew belum menyelesaikan jawabannya.

"Ke mana? Aku pikir aku tidak peduli kami pergi ke mana. Selama aku bersamanya, kurasa aku akan baik-baik saja."

Kemudian, kesadaran merasuk ke dalam otaknya. Dowoon mengerti. Cara Matthew menatap Bella begitu mirip dengan pandangan seseorang yang jatuh cinta. Mungkin dia memang jatuh cinta. Ada pemujaan dan kasih sayang meluap dari binar matanya. Ada aura lembut dan hangat saat Matthew melihat Bella tersenyum.

Dowoon merasa hatinya menghangat, meleleh seperti mentega di atas wajan panas. Meski dia tidak terlalu berbakat dalam hal romansa, pemandangan itu terasa sangat manis baginya.

"Sejak kapan?" Dowoon bertanya.

Matthew menoleh padanya dengan tatapan bertanya. Dowoon membiarkan senyum tipisnya mekar, dan Matthew langsung mengerti arti pertanyaannya.

"Aku tidak tahu," jawab Matthew. Matanya kembali menatap pada Bella, kekaguman tampak jelas pada pandangannya. "Mungkin sejak awal, mungkin aku hanya terbiasa dengan kehadirannya."

"Aku tidak melihatnya seperti itu," komentar Dowoon. Matthew mengernyit, Dowoon tersenyum hangat. "Kau melihatnya seakan-akan kau baru sadar cinta itu apa. Aku bertaruh kau hanya melihatnya meski bintang-bintang terang di angkasa dan cahaya penuh warna menghiasi langit."

Semburat kemerahan merambati pipi Matthew, tapi dia tidak mengelak dari ucapan Dowoon. Laki-laki itu justru menunduk, tertawa pelan. Tawa malu-malu yang kedengaran merdu, Dowoon selalu suka mendengar tawa tulus orang-orang.

"Kau agak puitis," katanya.

Dowoon mengulum bibir, terdiam. "Kau bukan yang pertama bilang begitu."

Mereka terdiam setelah kekehan pendek Matthew. Dowoon membiarkan Matthew memaku pandangannya pada Bella. Bella adalah gadis yang sangat cantik. Rambut coklat gelapnya dengan apik membingkai wajah pucat dan sepasang mata coklat yang berbinar indah. Tidak heran Matthew jatuh cinta padanya begitu mudah.

HIRAETH {✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang