HANSOL membuka matanya. Langit-langit putih yang membosankan menyapanya pertama kali. Hansol mencoba mengingat lagi apa yang terjadi. Kemarin, dia baru saja pulang setelah sebulan berada di Amerika. Seungkwan dan Sooyoung menjemputnya di bandara. Lalu, Hansol pergi ke rumah Seungkwan, mengadakan pesta penyambutan bersama keluarga Seungkwan dan sahabat-sahabat mereka semasa SMU. Hansol ingat Sooyoung mengantarnya pulang ke apartemen, lalu dia mandi dan tidur. Hansol juga bermimpi.
Hansol yakin seribu persen kalau dia bermimpi dalam tidurnya. Sisa-sisa mimpi itu masih ada saat dia bangun. Jalanan di malam hari, cahaya lampu, dan musik di radio. Seseorang yang mengemudi di sampingnya dan gumaman dari gadis yang duduk di belakang.
Siapa mereka?
Hansol memegang kepalanya, mendadak pening ketika mencoba mengingat wajah-wajah yang bersamanya dalam mimpi. Tidak terlalu berhasil. Hansol duduk dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Ponselnya yang berada di nakas berbunyi. Hansol mengambilnya dan menggeser ikon hijau begitu mengenali pemanggilnya. Dia mendesah dramatis sebagai pembukaan, terang-terangan menunjukkan rasa kesal pada peneleponnya.
"Jika kau lupa, aku baru saja kembali dari benua lain dan dipaksa berpesta kemarin." Hansol mengabaikan salam pembuka dan langsung menyemprot Sooyoung dengan kata-kata tajam.
"Hah!" Sooyoung menyahut dari seberang panggilan. "Aku tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana melihatmu semakin lancar menghinaku."
Hansol bisa membayangkan Sooyoung memutar bola mata, tapi tidak benar-benar merasa jengkel.
"Kenapa menghubungiku?"
"Kalau kau lupa," kata Sooyoung dengan nada yang sama yang Hansol gunakan tadi. "Kau kembali lebih cepat ke sini karena kau harus bekerja. Ingat naskah yang kukirimkan padamu? Kau bilang kalau kau sangat tertarik dengan jalan ceritanya dan akan menjadikan film itu sebagai ajang kembalinya kau ke dunia perfilman. Bahkan sudah ada gosip untuk itu!"
Hansol menjauhkan ponsel dari telingany sejenak. "Ugh, itu hanya gosip, Noona."
"Bukan hanya gosip untukku, Choi Hansol!" kata Sooyoung tegas. "Kau harus tahu bahwa sutradaranya adalah teman sekolahku, dan aku akan merasa sangat tidak enak hati jika kau bersikap plin plan dan membatalkan kontrak tiba-tiba."
Hansol mencoba mengingat nama sutradara yang bertanggung jawab kali ini. "Maksudmu, Sutradara Yoon?"
"Benar," balas Sooyoung dengan cepat. "Yoon Dowoon. Aku bukannya mempromosikan salah satu temanku, tapi dia benar-benar sutradara yang hebat."
Hansol mengusap rambut pirangnya yang masih acak-acakan. "Aku tahu, aku ingat beberapa filmnya. Aku tidak menyangka dia juga bisa menulis naskah yang sangat bagus."
"Dia memang sangat berbakat." Sooyoung terdengar sangat bangga. "Karena itu aku langsung mengirimimu naskahnya saat dia menghubungiku. Jadi, cepatlah mandi karena aku akan menjemputmu dalam dua puluh menit."
Hansol membalas dengan gumaman saat Sooyoung mulai membicarakan deretan omelan yang sudah Hansol hapal di luar kepala. Bukannya mendengarkan celotehan Sooyoung, Hansol justru sibuk memikirkan hal yang mengganggunya dari tadi.
"Hansol? Kau dengar aku???"
"Noona, apa aku pernah bertemu dengan Sutradara Yoon sebelumnya?"
"Apa maksudmu?"
Hansol tertawa kering, tenggorokannya dilapisi sesak. "Hanya saja ... namanya terdengar begitu akrab, seolah aku sudah mengenalnya sangat dekat."
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanfictionHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...