⚠️Part ini bakal lumayan angst, dan depresif.⚠️
***
YERIM membuka matanya, ada Hansol yang tertidur pada ranjang di sampingnya. Rambut pirang laki-laki itu bersinar dalam keremangan. Yerim melirik sofa yang kosong, Dowoon tidak ada di sana. Karena terburu-buru, mereka mencari penginapan terdekat yang ternyata hanya punya satu kamar tersisa. Untungnya, ada dua ranjang dalam satu kamar.
Angin dingin bertiup dari balkon yang terbuka. Yerim melihat Dowoon duduk di kursi yang ada di balkon. Kedua kakinya berada di atas meja, punggungnya menempel erat pada kursi. Dowoon tengah menengadah, asap rokok menyembur keluar dari mulut dan hidungnya. Jarinya menjepit sebatang rokok yang baru dibakar, bertengger di atas asbak pada meja kaca kecil.
Yerim menahan napas, merasa terkesima dengan apa yang dilihatnya. Dia tidak terlalu suka meromantisasi kesedihan, tapi ada yang memikat pada pemandangan di depannya. Yerim memperhatikan saat rambut Dowoon bergerak karena angin. Kelambu yang menari-nari. Bara di ujung rokok yang mengepulkan asap. Kabut putih yang berembus bersama helaan napas laki-laki itu. Juga bintang-bintang di langit gelap.
Tangan Yerim gatal ingin mencelupkan kuas ke dalam warna-warna, mengayunkannya di atas kanvas. Dia ingin melukiskan kesedihan nyata yang baru saja dilihatnya.
Yerim tidak bisa menebak Dowoon.
Suatu waktu, dia tampak sangat menyebalkan, sarkas, dan hanya tahu cara mencaci maki. Berikutnya dia bisa tiba-tiba bersikap dewasa dan hangat, bahkan menggemaskan. Sekarang Yerim melihatnya dalam keadaan yang depresif. Duduk di balkon dan merokok sambil memandangi langit-langit.
Yerim turun dari ranjangnya dan melangkah mendekat. Dowoon pasti menyadari kehadiran Yerim sebelumnya, karena dia tampak tidak terkejut saat Yerim datang. Dowoon menurunkan kakinya dari kursi, memadamkan api dari rokoknya yang tersisa sedikit. Tanpa kata, Yerim duduk di kursi yang sebelumnya digunakan Dowoon sebagai penyangga kaki.
"Kau tidak bisa tidur?"
"Tidak." Yerim menatap kotak rokok yang terbuka, hanya ada empat batang rokok tersisa. Di dalam asbak, puntung rokok berserakan dalam bentuk yang menyedihkan. "Kurasa kau juga tidak bisa tidur."
"Aku mimpi buruk."
Yerim mendongak, menemui wajah tenang Dowoon. Yerim menyelipkan rambutnya ke balik telinga. "Hansol bilang kau juga merokok di balkon kemarin. Dia bilang kau mungkin tidak tidur meski dia tidak berisik sama sekali."
"Hansol, dia...." Suara Dowoon terdengar lebih berat dari biasanya. Ada kesedihan pada matanya yang menyendu, menatap Hansol yang masih terlelap. "Dia mungkin punya masalah dengan mengeluarkan emosinya, dan kadang dia meledak. Manajernya yang mengatakan itu padaku."
"Apa itu akibat pekerjaannya sebagai aktor?"
"Bisa jadi."
"Manajernya teman sekolah menengahmu, bukan?" Yerim mengambil pemantik di atas meja, menyalakannya.
"Kau tahu banyak tentang kami."
"Sedikit." Yerim memperhatikan nyala api meliuk-liuk di udara.
Hening. Yerim menyalakan pemantik lagi begitu apinya padam. Jungkook pernah bilang kalau Yerim punya ketertarikan aneh pada pemantik. Yerim mengamati api yang bergerak seirama arah angin. Dia bertanya-tanya kabar orang-orang terdekatnya. Taehyung, Jungkook, dan Seulgi.
"Apa kau pernah menyelidiki kami atau apa? Aku merasa kau cukup banyak tahu soal kami."
Yerim mematikan pemantik, bertemu dengan mata penasaran Dowoon. Dowoon jarang repot-repot menyembunyikan ekspresinya, dia lebih suka membiarkan orang tahu ketimbang menjelaskannya. Bukan berarti Dowoon tidak bisa mengatur raut wajahnya. Yerim tahu dia bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIRAETH {✓}
FanfictionHiraeth; (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Mereka menemukan rumah, tapi bukan tempat beratap dan dinding di sekelilingnya...