Prolog

190 32 24
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Panas, sesak, pusing, dan penglihatannya buram. Gadis kecil malang itu terkapar tak berdaya di halaman rumahnya. "Astaga! Kamu kenapa, Nak?" Seorang wanita paruh baya tampak terkejut melihat apa yang ada di depannya. Anak satu-satunya terkeluai lemas di atas ubin.

"Papa! Papa! Eisha pingsan, Pa!" teriaknya berusaha memanggil sang suami. Tak lama kemudian, yang dipanggil akhirnya datang juga. "Ya Tuhan! Eisha, bangun, Nak!" pintanya. Namun percuma saja, yang dipinta tak bisa mendengarnya.

"Kita bawa ke rumah sakit aja, Ma," saran seseorang yang disebut papa itu. Tak menunggu lama lagi, mereka langsung membawa anak mereka satu-satunya ke rumah sakit terdekat.

Namun, keberuntungan sepertinya tidak memihak. Kejadian yang tak pernah diharapkan menimpa mereka semua. Sebuah truk besar menabrak mobil yang tengah mereka tumpangi hingga membuatnya terpental. Kejadiannya terlalu cepat hingga tak bisa dihindari. Saat itu, truk yang sedang melaju kencang mengalami rem blong. Truk tersebut menerobos lampu merah. Di mana, mobil Eisha tengah melaju di depannya. Naas, dua diantara mereka tidak bisa terselamatkan.

Eisha, gadis kecil yang baru saja menginjak usia 8 tahun mesti kehilangan kedua orang tuanya di waktu yang bersamaan. Belum lagi, besok adalah hari ulang tahun sang mama. Padahal, Eisha sudab menyusun rencana bagaimana dan apa saja yang akan ia lakukan besok.

Eisha mengalami masa kritis saat di rumah sakit.

"Perih! Tolong matiin lampunya! Mata Eisha perih! Silau!" racau Eisha tak lama setelah ia membuka mata dan terbangun dari ketidaksadarannya.

"Suster, tolong matikan lampunya!" pinta dokter yang menangani Eisha. Ruangan mendadak gelap. Gorden yang tertutup juga membuat cahaya matahari sulit untuk masuk menerangi ruangan.

Eisha mengerjapkan matanya perlahan berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. "Kamu kenapa, Nak?" tanya si dokter pada Eisha. "Mata Eisha perih, Dok. Lampunya terang banget," adu Eisha. Setelah matanya terbuka sempurna, ia menyadari jika ia hanya seorang diri disini. Sendiri dalam artian tidak bersama mama papa.

"Eisha kenapa bisa ada di sini, Dok? Eisha sendirian?" tanya Eisha kebingungan. Matanya masih senantiasa tertutup. Sesekali terbuka kecil untuk melihat wajah si dokter.

"Keluarga kamu mengalami kecelakaan lalu lintas." Eisha benar-benar dibuat bingung.

Potongan kejadian beberapa waktu yang lalu tiba-tiba terlintas di benak Eisha. Ia mengingat bagaimana saat ia merasakan kepanasan, sesak, pusing, juga penglihatannya yang buram karena memaksakan hanya sekedar mencoba untuk menghangatkan badan. Rasa sakit yang baru pertama kali Eisha rasakan. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang, Eisha sempat mendengar teriakan khawatir mamanya. Eisha menyimpulkan jika mama dan papanya bermaksud untuk membawanya ke rumah sakit.

"Kecelakaan, Dok? Mama sama papa Eisha ada di sini juga, kan?" tanya Eisha memastikan.

"Maaf, Nak. Orang tua kamu sudah meninggal." Meskipun ragu, mau tak mau dokter tersebut harus mengatakan apa yang terjadi. Eisha nampak terkejut. Kecelakaan itu telah merenggut nyawa kedua orang tuanya? Eisha tak percaya ini semua.

"Panggilin mama Eisha, Dok. Eisha mau minta ditiupin matanya. Perih," ujar Eisha seraya mengusap pelan matanya. Mengabaikan ucapan dokter yang ia anggap hanya guyonan semata.

"Yang sabar, Nak," ucap dokter tersebut. Rasa iba tiba-tiba menghampiri dirinya. Eisha mesti ditinggalkan kedua orang tuanya di usia yang masih belia. Tangannya mengusap kepala Eisha. Napasnya terasa berat karena ia paham bagaimana rasanya ditinggalkan.

"Dokter lama ah!" gertak Eisha. Lantas ia berusaha turun dari atas brankar untuk mencari mamanya. "Eh, kamu mau kemana, Nak?" tanya dokter tersebut tentu saja karena terkejut melihat Eisha meloncat dari atas brankar dengan pijakan yang tak terlalu jelas karena cahaya minim.

"Eisha mau ketemu mama!" bentak Eisha. "Dokter antar, ya," tawar si dokter yang Eisha hiraukan. Eisha kesal karena dokter tersebut terlalu bertele-tele.

Wanita berjas putih itu menggenggam tangan mungil Eisha dan membawanya ke tempat tujuan. Setibanya di luar ruangan, Eisha dibuat tekejut karena cahaya yang sangat terang menyambutnya. Matanya kembali perih, bahkan kali ini terasa lebih sakit dari sebelumnya.

"Argh!"

"Mata kamu perih lagi, Nak? Sini, ngumpet sama dokter," ujar dokter seraya menggiring tubuh Eisha mendekat padanya. Eisha langsung saja menyembunyikan wajahnya di balik tubuh dokter.

Melanjutkan perjalanan yang sempat terpotong, akhirnya mereka sampai di tempat di mana mama serta papa Eisha berada. "Udah nyampe, Dok?" tanya Eisha dengan wajah yang masih ia sembunyikan.

"Iya. Coba kamu buka matanya pelan-pelan," pinta dokter pada Eisha yang senantiasa masih saja memeluknya.

Perlahan, Eisha membuka matanya. Hanya terbuka sedikit karena ia masih merasa silau. Berusaha melihat apa yang ada di hadapannya.

Sebuah pintu bertuliskan 'Kamar Jenazah' di atasnya. "Dokter ngapain ajak Eisha kesini? Eisha kan mau ketemu mama," tuturnya dengan polos. Matanya menyipit saat berusaha menatap wajah dokter yang jauh lebih tinggi darinya. Lampu redup di langit-langit saja berhasil membuatnya silau.

Seulas senyum dokter tersebut berikan pada Eisha. Sarat iba. Tanpa berkata lagi, ia menggiring Eisha masuk ke dalam kamar jenazah. "Ih! Ngapain masuk segala, sih!" gerutu Eisha dengan hentakan kaki mengiringi rengekannya.

"Ini mama kamu, ini papa kamu."

***

"Padahal Eisha cuman pengen coba angetin badan. Tapi ... kok malah ...."

"Maafin Eisha, Ma, Pa," lirih Eisha dengan kepala yang ia tenggelamkan di antara kedua lutut yang dilipat. Ia hanya bisa memeluk lututnya, dan mulai menangis.

Malam itu, dalam gelap Eisha tengah meratapi nasibnya. Nasib yang sama sekali tidak pantas untuk dinikmati oleh anak seusianya. Eisha sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Semua orang telah meninggalkannya, untuk selamanya.

Kini, Eisha harus berusaha berdiri sendiri tanpa uluran tangan siapapun. Ia tak butuh apapun selain ketenangan dan kegelapan. Ia tak ingin lagi berurusan dengan cahaya, terutama cahaya matahari. Karena, sang cahaya telah memberinya penderitaan, juga merenggut nyawa orang yang Eisha sayangi.

Tapi, apakah ia harus berurusan kembali dengan cahaya supaya dapat bertemu dengan kedua orang tuanya lagi?

"Ma, Pa, tunggu Eisha, ya. E-Eisha ma-mau ketemu kalian sekarang, hiks ...."

***

»-----»

Vomment + koreksi typos, yaa.

Simpan ke library kalian kalau kalian suka sama ceritanya.


»-----»

Day 1

7 September 2020


Beautiful Noktural [SELESAI✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang