Bab III - Badut Anak TK

27 4 3
                                    

Subuh baru saja selesai berkumandang dan Jenna sudah siap didapur milik Soesdjito, meramu teh andalannya dan menyiapkan sedikit nasi merah sebagai sarapan atasannya hari ini.

"Pagi Jenn," suara serak Soesdjito menyapanya.

Bukan hal baru bagi Soesdjito melihat Jenna yang tepat pukul tiga sudah sampai dirumahnya menyiapkan ini itu atau apapun yang dirasanya perlu.

Dia saja heran, Jenna ini manusia atau robot kenapa sangat tekhnikal sekali dalam hidupnya.

"Tolong tambah sedikit telurnya ya Jenn,"

Jenna menambah kembali telur dadar diatas piring yang sedang dia siapkan.

"Saya antar bapak 30 menit lagi," ujar Jenna sebelum dia hendak pergi dari dapur tapi Soesdjito mengisyaratkan agar Jenna menemaninya makan.

Jenna kembali duduk sambil tersenyum, dalam hati dia ingin lekas pergi ke bandara dan kemudian kembali tidur.

"Nggak makan sekalian Jenn?"

Jenna hanya mengangguk sambil kembali minum kopinya, setidaknya dia harus menyegarkan jiwanya. Demi jagat raya! Dia belum tidur sama sekali.

"Nanti jangan lupa jam 12 diminum obatnya ya Pak," Jenna lagi lagi mengingatkan seperti kaset rusak. Soesdjito mengangguk mengiyakan, sekertarisnya ini benar-benar cerewet tentang kesehatannya apalagi sejak tensinya sering tinggi.

"Tepat jam 7 malam saya akan menjemput ke bandara. Lalu, besok saya mengosongkan jadwal bapak jadi bapak bisa istirahat dan laporan rapat umum akan saya kirimkan via email setelah jam makan siang," Jenna kembali mengoceh tentang pekerjaan setelah meneguk setengah gelas kafein.

"Jenn, aku lupa bilang kalau rapat divisi nanti putra sulungku akan menggantikanku."

Jenna mengerjapkan matanya, dia hampir lupa dengan anak-anak Soesdjito. Hampir sepuluh tahun mengabdi pada SLP Group dia hanya bertemu putra sulung Soesdjito beberapa kali..

"Umm, maksudnya Pak Bram?" dia agak linglung membayangkan rupa anak Soesdjito.

Meskipun kaya raya tapi dirumah ini tidak ada satupun potret foto keluarga yang terpampang jadi Jenna berkunjung 3x sehari pun tidak menjamin tahu rupa anggota keluarga Soesdjito. Jadi, bukan salahnya kalau dia tidak mempunyai visual bagaimana rupa si sulung Soesdjito ini.

"Iya, nanti diatur ya," kali ini Soesdjito sudah siap dan mereka segera melesat.


***
Matahari sudah pamer terik, berbeda dengan Jenna yang masih menguap entah keberapa kali didalam mini cooper milik Kahitna.

"Gila lo, mata sampai sembab gitu, tapi tetep cakep sih, iri gw."

Suara Kahitna bagai alarm yang Jenna setel pada pukul delapan pagi, alias ngangetin.

"Terus Dirga udah minggat belum ya?" lagi-lagi Kahitna membeo sambil membetulkan kaca tengah mobilnya.

Hari masih pagi dan Jenna sudah menerima rutukan dari Kahitna. Salahnya juga sih, kenapa malah mendatangi nenek lampir ini setelah dari bandara. Jenna menumpang tidur selama satu jam sebelum akhirnya dia dipaksa Kahitna agar mereka menunggangi mini coopernya.

"Bisa ngga sih, jangan bahas Dirga terus??? Pusing gw," Jenna tidak berbohong, dia pusing, dan anyway dia butuh kafein.

"Nih kopi, gw baik kan," Kahitna mengulurkan sebotol kopi yang biasa dibeli Jenna ketika temannya itu habis begadang atau lembur. Jenna tertegun beberapa saat, sejak kapan Kahitna menjadi cenayang?

"Tumben. Tetep ya, udah deal kalo naik minicooper lo artinya gw batal traktir di Sushi Eiy," Jenna mengingatkan.

"Yaelah, medit bener. Ini lo harusnya bersyukur. Disupirin gw tuh suatu kelangkaan, gw kan lebih tua dari lo,"

NOT YOUR BRIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang