"Tidak menginap saja Jenn?" Soesdjito terdengar mencemaskan Jenna.
Tentu saja, perhatiannya kepada Jenna seperti kepada anak perempuannya sendiri, bagaimana tidak, Jenna terkenal sebagai tangan kanan kesayangannya. Wajar saja, karena semua anaknya laki-laki, mempunyai Jenna seperti mendapat permata.
Jenna yang sedang menyeduhkan teh hangat untuknya itu tersenyum kecil, "Saya ingin pulang saja Pak, lagipula, berkas ini harus saya periksa sekali lagi karena besok akan bapak bawa."Dan sumpah mati, Jenna hanya ingin meregangkan punggungnya di kasur reotnya yang tidak sebanding dengan kasur jutaan rupiah disini. Jenna betul-betul butuh ruang untuk dirinya sendiri."Ini sudah malam lho,Jenn," Soesdjito terdengar sangat khawatir.
Andai saja Jenna kurang ajar pasti dia sudah tertawa sekarang. Lupakah Soesdjito bahwa Jenna termasuk asisten handal karena tidak ada yang dia kuatirkan kecuali kelalaian. Semuanya pekerjaan yang dibebankan selalu rampung tepat waktu.
"Pak, ini Batavia, kota yang tidak pernah mati," Jenna mengingatkan sambil menaruh teh buatannya dimeja."Selamat istirahat ya Pak.. Besok saya kesini pukul lima pagi, Bapak check in pukul enam ya," kali ini Jenna mengubah alur pembicaraan sebelum berpamitan pulang."Hampir saja lupa, besok ada Arneeta ke kantor Jenn," kali ini Soesdjito mengutarakan sesuatu tentang pekerjaan."Arneeta?" Jenna mengingat sosok wanita yang sebaya dengan Kahitna yang tadi terlihat disamping Yoesodharso, kolega Soesdjito."Putri Yoesodharso, bisa kan kamu bantu dia?""Membantu?" Jenna menyerngitkan dahinya, jangan bilang kalau dia harus mengurus anak TK."Dia ingin belajar mengurus perusahaan."OH MY GOD! Betul-betul mimpi buruk.Jenna tentu saja punya pendapat mengenai wanita rich bergaun mewah tadi."Apa yang bisa saya bantu untuk ibu Arneeta," sedikit merendah padahal sangat malas.Mendengar kalimat gadis yang tampak sekali malas melaksanakan tugasnya, membuat Soesdjito terkekeh kecil."Bapak tau, kamu pasti merasa tidak nyaman dengan Arneeta, tapi biarkan saja dia membantu mu, hanya seminggu saja. Papanya saja tadi yang bersikeras memaksa agar dia bisa membantu nantinya, karena yah, seperti yang kamu tau, saham mereka merosot tajam."Jenna mengerti, tentu saja dia juga tidak tuli, dia juga mendengar banyak kalimat berharap dari Yoesodharso. Papa yang ingin anak manjanya berubah jadi anak mandiri."Anggap saja selingan Jenn," Soesdjito membesarkan hati Jenna.Tentu saja tak ada pilihan lagi bagi Jenna kecuali menerima, memangnya dia bisa menolak perintah atasannya? Setelah mengingatkan Soesdjito untuk meminum obat hipertensinya dan aritmianya, Jenna lekas bertolak pulang. Taksi sudah menunggu dan dia menelefon Kahitna sekarang juga.***
Jenna meringkuk diranjangnya sendiri dengan mata sembab. Bukan karena drama konyol yang dipilihkan Kahitna setelah mereka beres video call tadi, namun semua ini karena dia sedang 'aware' kepada dirinya sendiri. Dia sedang menikmati rasa sakit hatinya sendiri.
Berbagai macam foto tersebar di lantai, potret mereka berdua, mulai dari manis gurihnya kebersamaan mereka hingga potret romantisme mereka ketika berlibur di Patibakala. Saat itu, Jenna sangat merasa di surga, didampingi pria yang amat sangat dicinta yang melindunginya dari terik matahari dengan badan tegapnya, hingga syall biru pemberian Dirga ketika musim hujan beberapa tahun lalu, syall yang membelit lehernya, menyimpul mati hatinya, hingga hanya jatuh pada Dirga.Hingga tatapan Jenna jatuh pada satu potret tragis yang rasanya sedang menertawakannya keras-keras.Foto jari jemari Jenna yang memamerkan jari manisnya yang terbelit cincin dari bunga-bunga, cinderamata yang mereka berdua beli di Patibakala. Menampilkan gambar seolah Jenna sedang dilamar. Tapi...Perih makin menjadi di hati Jenna, tarikan nafasnya memberat, kepalanya berkedut, sudut matanya pedas.Dia kembali mengingat apa kesalahannya. Apa dia terlalu menuntut?Oh c'mon.Bahkan hingga detik ini, Jenna ikut merasakan sakit ketika ada yang menjelekkan Dirga. Dirga tidak sepemarah itu, Dirga selalu membutuhkan dirinya, karena hanya dia yang mengerti Dirga.Apa betul begitu? Kamu hanya pesuruh, Jenna.Jenna tersenyum pedih. Dia memandang lurus, tatapan matanya tepat jatuh pada figura yang dia beli bersama Dirga, menampilkan kembali potret kebersamaan mereka, potret mereka berdua yang baru bangun tidur dan disana Jenna tampak sempurna dengan rambut cepolnya dan muka cantik alami miliknya.Jenna meraih bingkai yang akan dia jadikan bangkai."Prakk..."Dengan putus asa ia membanting bingkai tersebut. Lalu seperti kesetanan dia menyobek kalender bulan Oktober.Ya, Oktober. Lima bulan dari sekarang.Jangan heran, Jenna manusia perfeksionis yang sudah mengatur rencana hidupnya, bulan Oktober tahun ini, dia dan Dirga dulunya merencanakan menikah. Tapi apa? Batal.Ah, tidak juga, setidaknya Dirga tidak batal menikah. Hanya dia yang gagal.Karena ternyata, Jenna tidak dianggap masa depan, hanya alat bantu kehidupan.Jenna memejamkan matanya lebih dalam, merapatkan kedua lengannya lebih erat lagi, karena angin malam yang dingin tak segan membelai tubuhnya yang hanya tersampir lingerie tipis warna hitam.Jenna, potret mengenaskan manusia yang terpedaya cinta."Enn, kamu menangis?" suara lembut membelai telinganya, namun Jenna acuh. Sebegitu rindu dengan Dirga hingga rasanya suara mantan pacarnya sampai ke telinganya.Dia meraih dirinya lebih erat lagi, kali ini tanpa segan sambil terisak, benar-benar menikmati kesakitan ini."Enn,"Sempurna. Halusinasinya makin nyata, lengan Dirga kini dirasa memeluknya.Tunggu sebentar, tapi bau ini benar-benar Dirga. Jenna membelak dan kemudian berbalik mendorong Dirga."Kenapa menangis Enn?" suara yang mengagetkan dirinya.Sial, harusnya dia tidak pernah memberikan seluruh kunci duplikat miliknya kepada Dirga."Kau pikir ini rumahmu? Keluar!" Jenna cepat menguasai keadaan. Tak perduli basah masih berbekas dipipi."Aku tidak suka kamu menangis Enn," Dirga menyahut lirih. Dia mulai mendekat lagi dan gadisnya, ah tidak mantan gadisnya, spontan mundur lagi."Kamu yang buat aku seperti ini," balas Jenna tajam, berusaha kejam."Tolong Dirga, kamu mengaku punya tunangan dan itu bukan aku. So be a gentleman, get out from my home, dan pastikan kamu tidak mencariku lagi karena ada hati lain yang harus kamu jaga."Sepanjang hidupnya, baru kali ini Jenna terlihat menyedihkan di mata Dirga."Enn," kali ini memanggil dengan melihat sekeliling dan mendapati kekacauan yang dibuat wanita cantik yang sedang rapuh ini."Enn, kamu mau buang semuanya?" nada kecewa samar didengar Jenna, tapi gadis itu mengedikkan bahu tidak peduli."Kamu juga membuang aku."Ujaran singkat itu menyulut sedikit emosi Dirga, membuat pria itu kini menatap tajam mata Jenna, "Jangan kekanakan.""Kamu yang kekanakan! Ini jam dua dini hari, dan kamu sesumbar dihadapan mantan kekasih kamu kalo kamu mau nikah!"Jenna kembali marah. Dia terlamapau emosi dan bahkan sudah berkacak pinggang.Sementara Dirga diam, sewindu bersama Jenna tentu saja dia sudah tau ketika wanita itu marah, dia hanya butuh didengarkan, tidak dibantah, maka dengan sendirinya Jenna akan kembali melunak kepadanya.Tapi itu dulu, sekarang JEnna masih saja menampilkan raut wajah kesalnya dan kembali meneruskan rutinitasnya, membereskan semua barang bekas Dirga.Semua. Tepat didepan mata DIrga.Pria itu diam saja, dia juga tidak mengerti kenapa pula dia kembali ke sini.Jauh dilubuk hatinya dia haya mencemaskan Jenna. Jauh dilubuk hatinya dia juga terluka melihat Jenna yang bahkan masih sanggup menatap matanya dan tampak tidak terganggu dengan acara pertunangannya. Tanya mengenai siapa calon istrinya saja tidak.Jauh dilubuk hatinya, dia kalah telak dari Jenna."Enn, aku cuma mau kita tetap berteman,"Ide buruk. Berteman dengan mantan kekasih adalah ide buruk apalagi diikuti fakta kekasihmu adalah wanita nyaris sempurna yang selalu ada serta bisa diandalkan, jenis yang terlampau mustahil untuk dikuasai laki-laki. Wanita yang seperti ini kekurangannya hanya satu, ia tidak mampu memberi makan ego laki-laki. Dan, wanita itu adalah Jenna.Dirga kini sibuk menghalau Jenna yang masih lalu lalang dihadapannya."Enn, kamu bukan anak SMP kan?" Dirga kesal juga karena Jenna bahkan tidak menyahut lagi ketika ia berbicara."Dirga. Tidak ada teman yang menikmati saat berciuman dengan temannya." Jenna berujar serius dengan nada ketus."Enn," Dirga tertegun sesaat. Dia sedang berpikir kalimat pembelaan atas apapun yang bisa menjelaskan bahwa yang kemarin terjadi adalah suatu hal yang harusnya dimaklumi."Sudahlah. Aku tidak mau kembali bodoh lagi. Pulang saja, atau aku yang hengkang dari sini," Jenna sudah selesai mengepak semua dan kini berujar serius kepada Dirga.Satu yang kini terpatri dikepalanya. Dirga Adithiya Dharmawangsa adalah satu manusia yang mulai detik ini juga harus dihindari."Kamu berlebihan, kita tidak satu dua tahun hidup bersama--""Justru itu, sekarang kita tidak bersama," potong Jenna.Dirga seperti kehabisan akalnya, dia kini menarik Jenna dan memeluk mantan pacarnya yang dirasanya congkak ini."Bilang saja Enn... Bilang jangan pergi, seperti biasanya kalau aku marah," Dirga terdengar berujar dengan lebih lembut."Jangan mimpi," ujar Jenna mendorong Dirga kemudian pergi.***
KAMU SEDANG MEMBACA
NOT YOUR BRIDE
Chick-LitSewindu menjadi babu untuk pacarmu belum tentu dia mau menjadi pendampingmu. Jenna, wanita cantik, tangan kanan bos di perusahaan properti merasa dikhianati pacarnya sendiri. Delapan tahun jungkir balik bersama hanya berakhir menjadi pesuruh belaka...