Kerap kali kau meletakkan terlalu banyak peduli pada kesalahan yang diperbuat orang-orang hingga lupa pada kebaikan yang mereka berikan. Mereka bukan Tuhan, mereka hanya manusia yang sering lupa memiliki banyak kecacatan.
***
Pedesaan selalu memiliki hal magis yang bisa menyihir siapa saja, terutama pada waktu pagi hari. Kabut dengan manjanya bergelayut diujung-ujung rerumputan dan juga disela-sela pepohonan karet yang mendominasi Benai. Para petani sibuk hilir mudik dipembatang sawah, berniat memulai pagi untuk bertani.
Tapi berbeda dengan Arseno, ia malah dimintai Rasel untuk menemani Tari ke pasar. Tari menolak secara terang-terangan tanpa peduli jika Arseno merasa tersinggung.
"Aku bisa pergi sendiri, Buk. Lagian Kak Arseno mau aku suruh pulang ke kota lagi, udah aku cariin mobil buat nganter dia ke Pekanbaru." Tari memelas. "Aku pergi bareng Kak Yuda aja ya, Buk?"
"Yuda siapa?" Arseno memandang Tari sengit. Gadis itu hanya mencebik dari atas meja makan, menyuap sarapan-atau makan siang? Karena sekarang sudah jam 11-dengan setengah minat. Tak memedulikan pertanyaan Arseno.
"Hus, nggak baik ngusir tamu kayak gitu," tegur Rasel halus. Meletakkan gelas minum untuk Tari. "Lagian kalau kamu nggak mau nerima Arseno, biarin aja Arseno jadi tamu Ibuk. Kamu nggak usah sewot-sewot gitu nyuruh Arseno buat cepat-cepat pulang."
"Terserah Ibuk mau bilang apa, pokoknya aku nggak mau pergi ke pasar bareng Kak Arseno." Tari masih semangat memprotes keputusan Rasel. Dasar ratu rumah, semua hal harus dituruti kalau Tari tak mau menerima omelan panjang yang bisa membuat telinga panas.
"Terus kamu maunya gimana? Bawa motor sendiri? Memangnya bisa?"
"..." Tari tak mampu menjawab. Karena apa yang Rasel katakan itu adalah benar, Tari tak bisa memakai kendaraan manapun selain sepeda. Itu pun Evan hanya mengizinkan untuk pergi ke warung depan, tidak ke tempat-tempat jauh.
"Nak Arseno mau kan menemani Tari ke pasar?" Rasel tersenyum ke arah Arseno. Tentu saja Arseno tak kuasa menolak. Selain karena ini adalah perintah Rasel, ia juga bisa memanfaatkan kondisi untuk berbicara dengan Tari.
Benai adalah kecamatan yang cukup luas, mungkin penduduknya bisa mencapai lebih dari 10 ribu ribu jiwa yang terbagi dalam beberapa desa. Maka begitu juga dengan desa Tari, pusat Benai terletak cukup jauh hingga memakan waktu lima belas menit perjalanan menggunakan motor. Selama diperjalanan Tari hanya diam diboncengi Arseno, merasa déjà vu untuk sesaat. Mana motor yang Rasel beli memang sengaja matic lagi.
Sedangkan Arseno dengan pakaian santai serba hitam malah menikmati perjalanan mereka pagi ini. Jalanan protokol ramai dilalui oleh anak-anak SD kelas 1 sampai dengan kelas 3 yang baru pulang sekolah, kelas mereka selesai tepat pukul 11 siang, mengendarai sepeda dengan berkonvoi. Ibu-ibu tampak sibuk mengangkut pakaian siap cuci dari sungai untuk menjemurnya dibelakang rumah. Persawahan luas membentang, memanjakan mata dengan warna hijau yang membawa sejuk. Petani sibuk mencabut rumput liar disela-sela batang padi.
Pemandangan yang cukup menyegarkan bagi Arseno yang sudah muak dengan kemacetan kota disetiap pagi dan sore.
"Siapa Yuda?" Arseno membuka percakapan saat mereka sudah dekat dengan pasar. Sedikit tertegun dengan tugu monument gajah putih disimpang tiga jalan, Arseno kira hanya Thailand saja yang punya tugu tersebut.
"Orang," jawab Tari sekenanya. Arseno mengurut dada, mencoba bersabar.
"Gue juga tahu kalau Yuda itu orang." Arseno merotasikan mata jengah. "Ganti topik, semalam lo tidur jam berapa? Kenapa jam 9 pagi baru tidur? Kepala lo nggak sakit kalo begadang terus-terusan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Arseta's Last Step [✔]
ChickLitBukannya bermaksud melupakan Tari atau pula melupakan janji yang pernah Arseno ucapkan. Hanya saja Arseno terlalu fokus dengan karirnya yang baru saja berkembang setelah berhasil tamat sebagai lulusan S1 dijurusan Teknik Mesin. Demi apapun, Arseno t...