38. Surprise

403 35 25
                                    

Semakin dilihat, semakin diperhatikan, maka semakin sadar jika ia bukanlah orang yang pantas untuk diperjuangkan; terlalu banyak hati yang ia buat nyaman.

***

Setelah ungkapan singkat Arseno itupun, Tari hanya merespon dengan “Oh” pendek, meletakkan buket bunga diatas nisan dengan wajah datar, lantas berdoa sesuai apa yang Arseno katakan diawal. Bahkan meninggalkan rumah pemakaman tanpa sepatah kata yang berarti.

Sepulang dari itu, Arseno masih sempat mengajak Tari makan diluar. Makanan rumah sakit cukup terasa membosankan untuk Tari, bagi Arseno. Mungkin saja, ia ingin makanan berbeda sesekali. Tapi kenyatannya, saat semangkuk hangat mi ayam dihidangkan, wajah perempuan itu tetap tegang. Terdiam dengan muka termenung, menatap mangkuk mi ayam tak tertarik.

“Apapun yang mau kamu omongin, bakalan aku dengerin. Tapi aku yakin waktunya bukan sekarang, jadi...” Arseno meletakkan sumpit disamping tangan Tari diatas meja. “...kamu perlu makan dulu, biar mikirnya bisa lancar, gak macet kayak jalanan Jakarta.”

Lelucon basi yang seharusnya tak bisa menggelitik Tari sedikitpun. Namun cara lelaki itu peduli membuat Tari mendengus kecil, tersenyum disudut bibir.

Keduanya menyantap makanan dalam diam. Sesekali Arseno mengajak Tari berbicara dengan bertanya hal-hal kecil, kebanyakan mendapat jawaban berupa gelengan atau anggukan pendek dari Tari.

“Aku ketemu Reno, hari waktu kamu tanya aku kenapa.”

Perkataan Arseno yang terlalu tiba-tiba membuat gerakan Tari yang hendak menyeruput sisa kaldu dimangkuk terhenti.

“Hari itu dia ngasih kabar kalau Illa meninggal disel tahanan, setelah mencoba buat aborsi dan mengalami pendarahan parah.” Napas Tari tercekat. Mata Arseno berkedip nanar, seperti cahaya bintang yang redup saat fajar datang. “Illa diotopsi dan hasilnya, janin didalam kandungannya gak memiliki DNA yang cocok samaku. That's not my child. Kamu mau tau itu anak siapa?”

“...”

“Itu anak lelaki yang ngasih mimpi buruk seumur hidup sama kamu.” Arseno tersenyum getir. Mangkuk-mangkuk kosong seakan menggambarkan apa yang Arseno rasakan. “Aku pengen marah. Dua perempuan yang paling aku hargai dirusak sama dia. Tapi nahas, satu jam kabar meninggal Illa, dia dikabarkan bunuh diri. Aku ... apa aku masih bisa marah waktu gak ada siapapun yang bisa aku salahin?”

Tari menggigit bibir, meraih tangan Arseno dengan kedua tangan kecilnya dan mengusap punggung tangan Arseno pelan. “Aku memang benci Illa. Tapi aku juga gak pernah berharap seseorang bakalan mati.”

“Aku selalu pengen bahas Illa sama kamu dari lama. Tapi aku tahu, setelah aku nyebut nama Illa, kamu pasti marah. Aku berusaha diam. Berusaha tahan kalau aku ingin memohon maaf atas nama Illa.” Pandangan mereka bertemu saat kepala Arseno yang tertunduk kembali terangkat. Mata yang selalu tegas itu kini berkaca-kaca menahan luapan emosi. “Setelah lihat makam Illa hari ini, apa kamu mau maafin dia? Tolong bebasin aku dari rasa bersalah ini. Rasa bersalah aku sama kamu. Juga rasa bersalah aku sama Illa, sebagai satu-satunya orang yang berada disisi dia.”

“...”

“Illa selalu sendiri, Tari. Dia cuma punya aku sebagai orang yang dekat dengan dia. Aku akui dia salah, tapi apa dia terlalu buruk sampai gak pantas nerima maaf dari kamu?”

Tubuh Tari bergetar mendengar Arseno memohon dengan sangat. Bahkan disaat-saat hanya ada mereka berdua pun Arseno masih memikirkan Illa. Tari hendak menarik genggaman tangannya, namun Arseno menangkap tangan Tari dengan cepat. Menggenggamnya erat seakan ia berpegangan untuk bisa bertahan hidup. “Aku mohon,” Arseno berucap lirih, serak, kepala tertunduk dengan surai yang berjuntaian menutupi wajahnya yang digelayuti kesedihan. “Aku mohon. Aku mohon. Tolong aku.”

Arseta's Last Step [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang