02: Fiance

320 34 17
                                    

Ketika aku berkata akan melupakan, maka kepalaku justru mengingatkan; apakah kau bisa melupakan sesuatu yang begitu melekat dengan perasaan dan pikiran? Dan tanpa sadar aku pun melupakan cara melupakan dia yang ingin dilupakan.

Inilah aku dan si paradoks sialan.

***

Hidup itu seperti permainan yoyo. Kadang ditarik, kadang diulur. Tari berpikir dia adalah si pemain yoyo, tapi setelah terjebak satu meja dengan Arseno disebuah kafe, Tari justru merasa jika dia adalah yoyo itu sendiri.

Dia merasa dipermainkan. Dia serasa menjadi objek hiburan seseorang. Tari menyesal karena tidak lari saja tadi saat bertemu Arseno dengan pacar baru sialan kelewat cantiknya itu, dan bukannya menyapa hangat seperti teman lama yang baru pertama bertemu setelah berpisah dalam jangka waktu yang lama.

Siapa namanya? Illa? Lorena Azzilla? Lalu cerita tragis macam apa ini ketika Sunrise Ditepi Harap yang Tari tulis ternyata dimainkan oleh Arseno? Tari akan memaki Emili setelah ini, dia yang bertugas menyerahkan naskah ke produser, sedangkan Tari disuruh Emili untuk fokus menulis tanpa perlu memusingkan akan dikemanakan naskah yang telah siap Tari ketik.

“Lo pengen pesan apa?” Arseno berdeham sebelum mengucapkan kalimat itu, agak canggung, dan Arseno juga tak punya ide lain untuk meredakan suasana yang membeku diantara mereka setelah kejadian dikerumuni wartawan tadi dan juga maksud dari dekapan Illa pada lengan Arseno tadi.

Tari tak menjawab, hanya bersidekap dengan tubuh tampak tegap seakan sedang dalam keadaan super formal, memandang Arseno datar, tampak sedang menghakimi.

Meskipun sudah 8 tahun tak bertatap muka secara, Arseno masih bisa paham dengan semua gestur dan gelagat Tari. Gadis itu pasti tengah salah paham sekarang.

“Lo salah paham, cewek tadi—“

Brak!

Arseno berjengit ketika Tari tiba-tiba menggebrak meja. Wajah gadis dalam balutan pakaian serba hitam itu tampak tenang, tapi Arseno yakin ada riak yang berusaha dia pendam dalam-dalam saat ini.

Tari tersenyum kaku, membuat Arseno merasa sedang melihat senyum seorang psikopat. Arseno merinding. “Mari kita perjelas maksud Kakak ngajak aku buat duduk di kafe ini. Apakah ini semacam reuni teman lama? Atau traktiran seorang aktor untuk salah satu story board film yang dia bintangi?”

“Tari, jangan membuat sesuatu jadi runyam.” Arseno berkata pelan, dia tahu akan mengarah kemana pembicaraan ini. “Lo mungkin udah melihat berita hari ini, tapi itu cuma isu, gue nggak ada pacaran sama Illa. Gue—“

Stop!” Tari mengangkat sebelah tangan, Arseno secara otomatis mengikuti perintah. “Mungkin Kakak menganggap kalau apa yang pernah terjadi diantara kita berdua itu serius, tapi Kak. Aku udah punya tunangan.”

Tari mengangkat tangan kanannya, memamerkan cincin perak cantik yang melingkar apik dijari manis. Lebih dari cukup membuat Arseno membeku. “Waktu itu kita sama-sama remaja, masih labil dan bisa berbicara omong kosong apa saja. Dan janji waktu itu, aku sama sekali nggak berharap kok, nggak ada yang bisa dipertanggung jawabkan dari ucapan seorang anak cowok berumur 19 tahun, bukan? Jadi jangan salah paham, Kakak nggak perlu menjelaskan apapun soal hubungan Kakak dengan Illa-Illa itu. Itu urusan pribadi Kakak, nggak ada sangkut pautnya sama aku.”

“Tapi bagi gue janji hari itu serius,” bisik Arseno lirih, antara percaya dan tidak dengan pernyataan Tari soal memiliki tunangan. “Bagi gue janji hari itu adalah taruhan terbesar dalam hidup gue. Gara-gara janji itu gue bisa sampai disini.”

Arseta's Last Step [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang