06: Malam Yang Tak Pernah Tertidur

269 27 7
                                    

Beberapa orang meletakkan surat cinta dilokerku saat masa-masa sekolah. Anehnya aku malah membalas pesan-pesan itu padamu. Sama banyaknya dengan kata 'cinta' dan 'suka' yang mereka tujukan untukku.

***

"Tari tidak diterima oleh keluarga Om Evan ya, Tante?"

Gerakan tangan Rasel saat hendak menyendok nasi hangat ke piring seketika terhenti begitu saja. Senyap menjalar. Suara jangkrik dan dengking kodok dari rawa-rawa saling bersahutan. Malam tak pernah kesepian akibat suara-suara dari dua binatang tersebut.

"Maaf kalau saya terkesan lancang, Tan." Arseno merasa perlu meluruskan maksud dia bertanya seperti itu. "Tadi siang saya ketemu sama Tante Sari, dia cerita banyak soal Tari."

"Apapun yang dibilang Sari, tidak usah didengarkan," tutur Rasel pelan. Berbisik. Seakan dunia tak boleh tahu.

Arseno mengangguk paham. Masih berdiri dibingkai pintu, menonton Rasel yang sibuk menyiapkan makan malam untuk keluarga. Ashley sedang diruang tengah bersama Tari, anak berumur lima tahun itu sepertinya tertarik untuk belajar alphabet saat melihat kakaknya sibuk mengetik.

"Saya hanya penasaran apakah selama disini Tari menjalani hari-harinya dengan baik. Saya ... hanya takut ada yang membuat dia kecewa lagi."

Kepala Rasel tertunduk dalam meletakkan piring berisi tumis kangkung kesukaan Tari. Bergumam. "Kita semua pernah mengecewakan dia tanpa sadar. Tapi dia hanya diam. Tari anak yang baik, terlalu baik sampai-sampai sering kali melukai hatinya sendiri."

Arseno berniat bertanya lebih jauh soal maksud kalimat Rasel barusan. Tapi pekikan riang dan pelukan hangat dikaki jenjangnya membuat Arseno urung bertanya. Ashley menyengir lebar. "Abang! Lihat! Leya diajarkan Kak Tari menulis nama."

"Benarkah? Wah, Ashley anak yang pintar ternyata?" Arseno menunduk, memperhatikan rangkaian tulisan tak rapih diatas kertas hasil kerja Ashley. Mata itu berbinar lucu, persis sama saat Arseno melihat Tari yang antusias menatap mangkuk mi ayamnya. Membuat Arseno tak kuasa untuk tidak mengusap kepala gadis itu dengan sayang.

Anak-anak selalu bersikap polos.

"Nanti Leya mau mintak diajarkan membuat gambar sama Kak Tari," kata gadis itu masih dengan nada ceria.

"Leya suka sekali sama Kak Tari, ya?" balas Arseno masih dengan mengusap rambut panjang Ashley.

"Tentu saja, Kak Tari cantik. Pintar. Kak Tari sayang Leya. Kak Tari itu keren seperti big hero." Ashley mengangguk penuh semangat. "Kalau sudah besar nanti, Leya mau jadi seperti Kak Tari."

"Gak usah jadi seperti Kakak, Leya." Perkataan gadis kecil itu terintrupsi saat Tari masuk ke dapur. Wajahnya tampak lelah. Kacamata dilepas. Rambut tergerai acak-acakan. Ciri khas Tari saat selesai bekerja. "Cukup jadi dirimu sendiri. Kakak nggak sehebat yang kamu kira. Kakak cacat."

"Ron." Arseno menyentuh lengan Tari pelan, berkata lirih. "Jangan rusak sudut pandang anak kecil terhadap lo. Dan gue mohon ... berhenti buat ngerendahin diri sendiri sampai segitunya. Lo berlebihan." Arseno menatap Tari tepat dimata. Membuat pandangan keduanya terikat oleh tali tak kasa mata yang terjalin.

"Cacat itu apa, Bang?" Suara bertanya Ashley membuat Arseno kembali meletakkan atensi kepadanya. "Kenapa Kak Tari cacat?"

"Ashley. Cacat itu sesuatu kekurangan yang ada sama manusia. Tapi menurut Kak Tari, cacat bukan hanya soal tampilan fisik, tapi juga pola pikir dan keadaan mental seseorang. Cacat itulah yang membuat manusia jadi lebih manusiawi. Tapi karena kecacatan itu juga yang membuat kita bisa merasa jatuh. Merasa tidak berharga. Disisi lain juga membantu kita buat tahu, dimana kelebihan kita. Cacat memang sebuah kekurangan, tapi bukan berarti nilai diri kamu turun karena sebuah hal yang minus."

Arseta's Last Step [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang