Tanpa sadar kata-kata justru menyayat hati lebih perih dari pada pedang.
Diam-diam membunuh asa dengan cara tak kasat mata, menjadi psikopat dengan cara yang berbeda.
Memang ini hanya perkataan. Memang itu hanya sebatas kalimat yang kau beri nama opini. Tapi ingatlah, jika hati bukan benda mati yang tak bisa merasakan.
***
Tari menceritakan kejadian siang itu pada Arseno.
Saat sampai di persawahan, Tari menyapa Evan yang turun ketengah-tengah sawah untuk membantu beberapa pekerja. Sawah seluas setengah hektar itu memang milik Tari. Ia hadiahkan untuk Evan dengan menabung selama setahun penuh dan mengambil segala pekerjaan dengan gila-gilaan. Mulai dari gost writer, freelancer, sampai jadi tutor di sebuah seminar kepenulisan. Tapi diakhir Tari malah bersyukur karena lahan itu kini juga menjadi penumpu hidup beberapa pekerja disana. Berarti kerja keras Tari selama ini sama sekali tidak sia-sia.
Tari berjinjit memijaki pembatang sawah. Sesekali menarik ujung rok ketika kaki mulai terasa basah. Dari sini Tari bisa melihat kalau Evan sedang mencabuti rumput liar dengan tudung bambu terpasang di kepala. Tudung menjadi barang bagus untuk mengusir panas matahari yang lumayan menyengat saat bertani.
“Pak! Tari udah antarin makan siang!” Tari berteriak dari ujung pembatang yang sekiranya bisa didengar oleh Evan. Benar saja, lelaki berusia nyaris berkepala empat itu menoleh, balas berteriak, “Iya, nanti Bapak makan. Sekarang Bapak kerja dulu, tanggung kalau ditinggal.”
“Kalau gitu biar Tari siapkan!” Tari berlari antusias menuju pondok yang didirikan ditengah persawahan dimana tempat rantang berisi makanan ia letakkan. Beberapa kali ia nyaris hendak terjatuh dari atas pembatang akibat pijakan yang oleng. Tari hanya terkekeh sesekali. Tari seperti ini, suka tiba-tiba merasa senang hanya karena hal sederhana yang bisa ia lakukan untuk orang yang ia sayang.
Saat nyaris mendekati pondok, Tari memelankan langkah. Nyaris terhenti. Senyum berlahan pudar. Netranya menangkap satu presensi lain yang ada di dekat Yuda.
“Apo nan ang tengok dari anak Evan ru? Apo nan elok nampak dek ang dari enyo ru?” Ibu Yuda tampak bersitegang dengan putranya.Apa yaIbu Yuda tampak bersitegang dengan putranya. (Apa yang kamu lihat dari anak Evan itu? Apa yang bagus dari Tari bagimu?)
“Mak, saya sudah bilang berulang kali kalau Tari ini perempuan baik-baik. Saya—“
“Ndak payah ang barasalan le ro. Budak ru ndak basuku, anak angkek, ndak urang awak ro. Kalau iyo enyo batino botual-botual, enyo pasti punyo golar tinggi kini. Ba pandidikan. Bukan malah dibuang dek orang tuo enyo. Dek tando enyo buruak laku mangko orang tuo jojok. Ko indak, kayo iyo, tapi masikin ilmu. Urang bektu ndak bisa dijadian pandampiang iduik ro Yuda.” Ibu Yuda masih bersikukuh.
(Tidak usah kamu beralasan lagi. Dia itu tidak memiliki suku, anak angkat, bukan orang kita. Kalau memang benar dia perempuan baik-baik, dia pasti punya gelas tinggi sekarang. Berpendidikan. Bukannya malah dibuang sama orang tuanya. Bertanda dia ini punya perilaku jelek makanya kedua orangtuanya benci dia. Lihatlah, kaya iya, tapi miskin ilmu. Orang seperti itu tidak bisa dijadikan pendaping hidup, Yuda.)
“Ndak ang dongar kecek urang sakampuang ka enyo? Budak ru pernah diperkosa. Dongar ang ru? Itu dek apo je ang? Dek enyo ndak pandai manjago diri surang sampai urang bisa melecehkan enyo.” (Apa kamu tidak dengar omongan orang satu kampung? Dia itu pernah diperkosa. Kamu dengar? Kamu kira itu karena apa? Itu karena dia tidak bisa jaga diri.)
Telinga Tari panas mendengarnya. Tapi kaki Tari malah membeku, telinga menjadi lebih sensitif hingga ia bisa mendengar dengan jelas semua tutur kata Ibu Yuda.
![](https://img.wattpad.com/cover/237504093-288-k246104.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arseta's Last Step [✔]
ChickLitBukannya bermaksud melupakan Tari atau pula melupakan janji yang pernah Arseno ucapkan. Hanya saja Arseno terlalu fokus dengan karirnya yang baru saja berkembang setelah berhasil tamat sebagai lulusan S1 dijurusan Teknik Mesin. Demi apapun, Arseno t...