Mimpi membawakan wadah aneh padaku; isinya dua dunia terpisah yang masing-masingnya terisi aku dan kamu.
Membayangkannya saja sudah membuatku terjaga semalaman, serasa mendapatkan mimpi buruk dimana kita tak akan pernah saling bertemu meskipun sudah saling mencari. Namun sekarang, aku kembali mengalaminya, dalam bentuk yang lebih nyata.
Dan rasanya ... jauh lebih menakutkan dari mimpi malam itu.
***
“Om—hm, maksudku, Papa mau aku telepon Kak Arseno sekarang?”Illa bisa mendengar percakapan Galen dan Tari dari balik pintu ruang inap rumah sakit. Wanita itu memandang Tari dengan tatapan berkecamuk lewat celah pintu yang terbuka. Apalagi saat ia dengan tersenyum tipis menanggapi guyonan Galen, pipinya memerah cantik; persis seperti wanita yang dicintai dengan cara paling benar.
Illa benci melihatnya. Illa benci melihat Tari yang seperti ini; seolah-olah dunia berpihak padanya dan mau bekerja sama untuk membuatnya bahagia.
Illa iri. Kenapa ia tak bisa terlihat sepertinya itu? Wajahnya lebih sering dituntut untuk tersenyum. Setiap hari ia bertegur sapa dengan ribuan orang yang mengaku mencintainya. Bertemu dengan berbagai macam pria untuk mengisi ajakan makan malam romantis.
Tapi dirinya tetap tak pernah terlihat sebahagia itu. Padahal Tari hanya memiliki satu orang disampingnya, kenalannya juga hanya beberapa—ia melakukan background check pada Tari.
Tapi ... kenapa bisa ia bisa terlihat begitu bahagia?
Gadis dengan nama lengkap Lorena Azilla itu membuka pintu, mengukir senyum tipis meski ia bisa melihat wajah terkejut pada Tari. Ia sangat menikmati keterkejutan Tari.
“Dari tadi?” Illa bertanya dengan nada lembut, namun respons Tari tetap masam. Perempuan dengan ciri khas kacamata yang bertengger dibatang hidungnya itu lebih memilih membuang muka. Terlalu malas meladeni Illa.
“Lo bisa ninggalin gue berdua sama Om Galen, biar gue yang jaga.”
Tari bersikap acuh tak acuh. Dering pertama teleponnya tak mendapatkan jawaban. “Bentar, Pa. Kayaknya Kak Arseno lagi dijalan.” Tari menjelaskan pada Galen, seakan-akan ia tak melihat Illa berada dalam ruangan yang sama dengannya.
“Tari,”
“Kamu kalau mau disini ya disini aja, gak usah pake gaya ngusir.” Tari mendelik garang dari bangkunya. “Aku bakalan anggap kamu gak ada disini.”
“Lo bener-bener ya!” Illa mendengus kasar, mencoba menahan luapan emosi saat ia tahu mata Galen tengah mengarah padanya. “Gue mau jaga Om Galen, maksud gue, mungkin lo punya kerjaan lain dan gue dengan sangat berbaik hati mempersilakan lo pergi. Apa lo gak paham?”
Galen menyentuh lengan Tari saat ia hendak menjawab. “Bener kata Illa, kamu boleh pergi kalau ada urusan lain. Biar saya sama Illa disini.”
Tari tak bisa menahan tatapan tajamnya agar tak menghujani Illa. Dia muak. Perempuan itu selalu bersikap seperti malaikat didepan orang-orang dan selalu merisak Tari dibelakang. Dia bukannya tak tau bahwa Illa-lah orang dibalik semua kejadian buruk yang ia dapat. Emili menyelidikinya sendiri, gadis itu gemas dan nyaris ingin membalas perbuatannya.
Tapi Tari menahan. Karena Arseno selalu bersikukuh, Illa salah satu orang yang ia anggap penting. Tapi kali ini Tari tak tahan lagi.
“Sebenarnya kamu mau apa, hm? Kenapa lama kelamaan rasanya kamu makin ngelunjak?”
Illa tersenyum manis. Tatapan mengintimidasi Tari tak membuatnya gentar sama sekali. “Kenapa? Lo akhirnya nyerah sama Arseno? Dia lebih milih gue dari pada lo?” Illa tertawa puas. Galen didalam ruangan itu seakan dibuat membisu karena ia rasa, kedua perempuan ini memang butuh untuk bicara.
![](https://img.wattpad.com/cover/237504093-288-k246104.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arseta's Last Step [✔]
Literatura FemininaBukannya bermaksud melupakan Tari atau pula melupakan janji yang pernah Arseno ucapkan. Hanya saja Arseno terlalu fokus dengan karirnya yang baru saja berkembang setelah berhasil tamat sebagai lulusan S1 dijurusan Teknik Mesin. Demi apapun, Arseno t...