13: Microcosmos

170 29 10
                                    

Kehidupan sama halnya dengan karya sebuah lukisan. Kesalahan memang tak bisa dihapus, namun bisa diperbaiki.
***

“Kita kemana sih, Kak?”

Tari bertanya was-was. Matanya ditutup dengan sehelai kain setelah dia menerima ajakan Arseno untuk untuk pergi melakukan kemah malam-malam. Dengan cacatan mereka harus kembali sebelum Rasel-Evan terjaga atau mereka akan terlibat masalah. Suara hewan malam bernyanyi mengisi sunyi. Burung hantu berkata pelan seolah mengatakan ‘Selamat malam’ pada orang-orang yang berniat menjelajahi kelam. Angin berhembus sesekali, membuat Tari bergidik.

“Tunggu bentar disini, gue naruh barang-barang dulu.”

“Kak!” Tari terpekik pelan saat genggaman tangan Arseno dia lepas dari lengan Tari. Gadis itu menggapai-gapai sekitar, mencari keberadaan Arseno. Tak berselang lama lengan gadis itu ditarik pelan, menautkan lima jari jemari.

“Apa sih? Kan cuma gue tinggal sebentar.” Arseno kembali menuntun langkah Tari. Mereka seperti turun lewat gundukan, lantas berujung memijak dataran berpasir. Tari mengernyitkan dahi dalam, masih menerka-nerka.

“Takut, Kak,” cicit Tari pelan. Arseno hanya bisa tergelak pelan. Ternyata Tari masih punya rasa takut?

“Gak usah takut. Ada gue,” balas Arseno dengan berbisik pelan. Angin bertiup lebih kencang disini, membuat Tari semakin berdegup karena tidak punya gambaran soal tempat yang mereka kunjungi. Mungkin lokasi ini tidak jauh dari rumah, sebab mereka tak membawa kendaraan apapun untuk datang kemari. Hanya berjalan dua puluh menit tanpa tahu rute tujuan—hanya Tari, ia yakin Arseno tahu persis tempat yang akan mereka kunjungi.

Langkah Arseno yang menuntun terhenti, membuat Tari kian penasaran sekaligus takut saat merasakan percik air yang menyapa ujung kaki. Suara desiran pelan juga terdengar, tampak sinkron dengan hewan malam yang bernyanyi. “Siap buat lihat? Gue yakin lo nggak akan nyesel.”

“Ta—tapi—“ Demi apapun, Tari gugup. Padahal Arseno sudah mengarahkan Tari untuk berbalik, tapi gadis itu dengan cepat kembali menghadap pada tubuh Arseno. “Kok perasaan aku nggak enak?”

“Yakin sama gue, Ron.” Arseno menikmati wajah ketakutan Tari. Gadis itu tak henti-hentinya menyentuh kedua pundak Arseno dengan gugup. “Siap? Gue buka, ya? Satu—,”

“Tu—tunggu, aku—,”

“... dua ...”

Tari menggigil, dia mulai tahu dimana dia sekarang. “Kak!”

“Sekarang!” Kain penutup mata Tari sukses dibuka. Tapi gadis itu malah memeluk Arseno erat, tubuh tremor, mata terpejam erat dan bersembunyi tepat diceruk leherArseno.

“Hei, percaya sama gue. Ini pemandangan yang bener-bener bagus.”

Napas Tari mulai tak beraturan. “Aku gak mau. Aku gak mau dipinggiran pulau gini. Aku mau pulang! Aku takut!”

Arseno tercenung saat merasakan tangan Tari yang mulai berkeringat dingin. Apa Tari punya trauma dengan tepian Kuantan? “Hei, it’s okay. Coba lihat gue—hey, jangan panik. Just relax.” Arseno menangkup kedua pipi Tari lalu mengarahkannya agar memandang Arseno. “Lihat gue? Okay, bagus. Pelan-pelan, angkat kepala lo ke atas. Jangan lihat ke arah sungai, just look up in the sky.”

Setelah Arseno yakin mulai tenang, lelaki itu dengan pelan mengurai pelukan. Mengarahkan Tari agar memandang taburan bintang yang berserakan dilangit malam. Benar saja, gadis itu seakan lupa dengan ketakutan yang ia rasakan. Pelan-pelan Arseno menarik Tari menjauh dari bibir sungai, hingga mereka berada cukup jauh dari air.

Arseta's Last Step [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang