39. The Promise

730 48 16
                                    

Bonus chapter. Enjoy guys!!!

Warning: uwu uwuan. Gatau uwu apa enggak. Maksudnya, ada baby (eh apaan sih?).

Warning(2): jaga jaga baiknya dibaca habis buka puasa. Wkwk
***

3 bulan-lagi. Entah dulu Arseno punya masalah soal "3 bulan" atau dia memang ditakdirkan untuk menanti sesuatu lagi selama 3 bulan. Mengurus surat-surat pernikahan bukan hal yang mudah, ditambah, Tari mesti tetap harus berobat jalan untuk memonitori kesehatan mentalnya. Selain punya urusan soal pernikahan, Arseno juga sibuk mengejar deadline agar dia bisa cuti.

Iya, ternyata pekerjaannya jauh lebih posesif daripada Tari sehingga ia masih harus bolak balik Jakarta-Riau demi mempersiapkan pesta pernikahan mereka. Bahkan jawdwal dua minggu kedepan sudah dia majukan juga. Persiapan pernikahan sudah sampai menyentuh 85%. Mereka juga sudah sepakat pernikahan akan dilangsungkan dikampung halaman Evan. Selain menghargai kemauan beliau, Arseno rasa di Benai juga jauh lebih privat. Jadi dia tak harus mengundang banyak orang.

Harus Arseno bilang, mayoritas memang hasil perjuangan seorang Tari Ashallegra yang mau repot mengurus segala hal sendiri. Mulai dari tenda, wedding organizer, sampah ke masalah tema baju yang akan dipakai saat akad dan resepsi.

Hari itu cuaca sedang terik saat Arseno selesai dengan sesi photoshoot untuk sebuah majalah fashion bulan depan. Ia mengucapkan terima kasih kepada seluruh kru, lantas menepi dari studio yang kembali sibuk dan segera mencari Ansel.

"Jadwal gue udah diatur ulang kan? Habis ini apa lagi?" Arseno bertanya setelah menemukan Ansel yang menarik sebuah kursi untuk ia tempati. Arseno duduk, menenggak air minum tanpa menolehkan pandangan dari Ansel.

"Udah, Bang. Kebetulan lo nanya." Ansel memberikan tablet ditangannya. "Itu jadwalnya habis ini. Kalau ada yang perlu diatur ulang, bilang aja ke gue."

"Oke. Tapi bisa nggak--" Perkataan Arseno tertahan oleh dering ponselnya yang meraung. Tak bisa menahan tegukan ngeri saat melihat nama 'Moron' tertera dilayar. "Sebentar," ujarnya pada Ansel sebelum menjauh, lalu mengangkat telepon.

"Kakak gak punya waktu buat pulang? Kan minggu kemarin udah aku bilang, kita mau fitting baju. Masa lupa?!"

Arseno meringis, meminta maaf secara non verbal pada orang-orang yang terkejut akibat pekikan Tari dari dalam telepon. Salah Arseno juga, kebiasaan menggunakan loudspeaker hingga lupa jika ia tengah dimuka umum.

"Kak..." Tari kali ini merengek, nyaris frustasi.

Arseno berjalan menjauh, memasang earphone bluetooth. Lelaki itu mengusap tengkuknya rikuh. "Gak bisa, Ron. Ada jadwal."

"Sebenarnya niat nikah gak sih?!"

Arseno hanya bisa menghela napas berat. Ia paham, sangat-sangat paham kenapa Tari sampai bisa berkata demikian. Tapi mau bagaimana lagi? Saking ingin bisa memiliki quality time berdua setelah menikah, Arseno sampai harus bekerja keras seperti sekarang.

"Kan aku udah kabarin dari jauh hari biar Kakak bisa cari waktu. Kok sekarang alasannya itu lagi?"

"... ya mau gimana lagi?"

"..."

"Ron?" Arseno menendang-nendang dengan random debu dibawah kakinya. Tapi diamnya Tari membuat Arseno makin merasa bersalah. "Sayang..."

"GAK USAH MANGGIL SAYANG-SAYANG!!!"

Antara gemas dan ingin ngakak, Arseno mati-matian menahan bibir agar tak tertawa atau ia akan membuat mood Tari makin buruk. "Marah?" tanyanya hati-hati.

Arseta's Last Step [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang