Hargai mereka yang berani meminta maaf dan mengaku atas kesalahan, sebab ada perang panjang yang sulit ditaklukkan sebelum membuat pengakuan.
***Sore itu yang tersisa hanya hujan dipipi Tari, tak hanya hujan dilangit, tak hanya sore yang ditemani tetesan yang Tari senangi. Sore itu berubah merah akibat rasa panas yang menjalari pipi, napas terengah, masih terdiam dengan segala sisa emosi yang meledak.
Tari mengerjap memandang Arseno yang tampak diam tak berkutik nyari belasan menit. Hanya menunduk. Kedua tangan Arseno erat melingkupi kedua tangan Tari yang terkepal. “Ke—kenapa diam?” Tari bertanya disisa isak tangis, masih dengan suara yang serak. Ujung-ujungnya Tari malah kesal jika dia yang marah-marah sendiri sedangkan Arseno tak memberikan respon apapun.
“Udah nangisnya?” Tari mengangguk, hidung mampet akibat menangis, hujan mulai turun dengan lembut. Mata Arseno turun kebawah, tepat ditangannya yang menyelimuti jari jemari kecil Tari. “Memangnya gue harus apa? Bertele-tele dengan nyari penjelasan? Ngasih alasan yang bisa membuat lo merasa lebih baik? Gue diam karena gue memang salah. Lo berhak marah sama gue. Malahan...”
Manik mata Tari tampak seperti anak kucing saat memandang Arseno. Ia terkekeh pelan, mengusap sisa air mata dipipi Tari. “... gue takut setelah lo ngomong gitu, lo malah nyuruh gue pergi kayak tadi. Gue takut lo benar-benar benci gue dan nggak mau lagi gue ada disini. Makanya gue megangin tangan lo kuat-kuat, biar gue yakin, biar gue nggak terlalu gugup dan takut, biar lo nggak pergi lagi dari gue, ataupun sebaliknya.” Arseno tersenyum tipis. “Makasih, udah ngasih gue kesempatan lagi.”
“...” Tari memandang Arseno tak paham. Padahal baru saja Tari menyuruh lelaki itu pergi. Kesempatan mana yang Tari katakan dikalimatnya tadi?
“Lo nanya darimana gue dapat kesimpulan kayak gitu?” Lagi-lagi kedua sudut bibir Arseno terangkat hingga membuat senyum simpul yang manis. “Tangan lo. Lo nggak nepis gue sama sekali. Lo tetap diam meskipun lo marah-marah, meskipun lo teriak didepan gue sampai nangis, meskipun lo minta gue buat pergi berkali-kali, lo nggak menepis tangan gue sama sekali. Sedikitpun enggak. Harapan itu masih ada, kan?”
Tari baru tahu kalau diamnya Tari justru bisa menyimpan sejuta makna hebat seperti itu. Gemuruh berkumandang pelan diujung langit, kelabu mulai menggelayut senja, udara berubah dingin akibat hembusan angin yang menemani tetes hujan.
Tapi berbeda dengan lingkungan sekitar, tangan dan hati Tari justru dilingkupi rasa hangat.
“Gue nggak akan pergi,” bisik Arseno yakin.
“Happy ending ini mah,” bisik Emili pada Ansel yang sejak tadi ikut mengintip pendramaan Tari dan Arseno dari balik pintu. “Kayak didrama-drama banget nggak, sih?”
“Sssst, ini belum selesai.” Ansel menarik kepala Emili yang menutupi pemandangan, Emili mengaduh saat kepalanya mendarat diatas dada Ansel. “Kan masih ada konflik lainnya, Mil.”
“Emil-Emil, manggil aku tuh yang bagus dong. Emili, gitu!” protes Emili meskipun dengan berbisik. “Yang kamu maksud Kak Yuda, ya?”
“Si Iblis Lauriel juga,” tukas Ansel cepat.
Emili memukul kepala Ansel. “Itu mah nama barang cewek, Koko jorok ih.” Emili mengernyit. “Taruhan, bos kamu sama bos aku bakalan berlayar apa enggak?”
“Kalau jawaban gue bener?” Ansel terarik untuk menantang Emili.
“Satu bulan gaji aku, kamu yang ngambil.” Emili menukas tanpa ragu.
“Kata gue, mereka nggak akan berlayar. Tantangannya terlalu banyak.”
“Kalau menurut aku Kak Tari sama Kak Arseno bakalan jadian kok.” Emili menyampkaikan jawaban taruhan miliknya. “Kalau jawaban aku benar, kamu harus nurutin satu kemauan aku.”
![](https://img.wattpad.com/cover/237504093-288-k246104.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Arseta's Last Step [✔]
ChickLitBukannya bermaksud melupakan Tari atau pula melupakan janji yang pernah Arseno ucapkan. Hanya saja Arseno terlalu fokus dengan karirnya yang baru saja berkembang setelah berhasil tamat sebagai lulusan S1 dijurusan Teknik Mesin. Demi apapun, Arseno t...