Jangan pernah membuat keputusan dalam kemarahan dan jangan pernah membuat janji dalam kebahagiaan
-Ali Bin Abi thalib-
✨✨✨
Selesai sholat isya, Tisha berada di dapur, memasak untuk makan malam mereka. Sudah ada banyak lauk yang ia masak malam ini, spesial untuk Faris. Bahkan Tisha memasak semua makanan kesukaan Faris karena ingin menyenangkan hati pria itu lewat makanan yang ia buat.
Setelah semuanya masak dan siap, Tisha menyusun lauk-pauk itu di atas meja, menatanya dengan sangat rapi.
Terdengar suara derap langkah kaki. Faris turun dari lantai atas, sekilas pria itu menatap Tisha, lalu kembali menatap ponsel yang ada di tangannya.
"Mas, ayo makan!" ucap Tisha terdengar bersemangat.
"Mas mau keluar, Hanung ngajak makan malam," jawab Faris tanpa menatap Tisha.
Hati Tisha terasa tertusuk oleh benda tajam, ia begitu semangat memasak makanan untuk Faris, namun pria itu malah memilih makan keluar bersama wanita lain. Bagaimana Tisha merasa baik-baik saja, lagi dan lagi wanita itu yang Faris utamakan. Baru beberapa hari Faris berubah menjadi baik padanya, sekarang pria itu kembali dingin dan cuek. Sudah seharian ini Faris dingin, Tisha mengajaknya bicara saja Faris tidak mau, Faris berubah.
Tisha terduduk lemas di kursi, ia menatap semua lauk yang ia masak tadi. "Bagaimana aku bisa mempertahankan rumah tangga ini ... jika dia saja tidak ingin terus bersamaku, aku berjuang sendiri? Aku tidak mampu berjuang sendiri, aku butuh kamu Mas, aku butuh kamu untuk menemaniku berjuang mempertahankan rumah tangga ini, agar tidak ada perpisahan yang terjadi nanti." Air mata Tisha berhasil keluar dan membasahi pipinya. Tisha mengusap kasar air matanya. "Saat aku ingin membuka hati ini, kamu malah membuatku seperti ini. Bagaimana aku bisa membuka hatiku, kamu saja masih dengannya." Tisha memukul dadanya yang terasa sesak. Ucapan Faris tadi masih membekas.
Tisha beranjak mencari wadah untuk menaruh lauk-lauk itu untuk di bagikan pada tetangganya, ia tidak sanggup memakan semua itu.
Setelah ada empat wadah makanan yang berisi lauk yang ia masak tadi. Tisha keluar untuk mengantarkan makanan itu pada tetangganya.
Suasana di luar rumah masih ramai, karena masih belum terlalu malam, orang-orang sedang ramai berkumpul di sebuah warung, warung tempat para bapak-bapak berkumpul sambil minum kopi.
"Neng Tisha."
"Pak." Tisha tersenyum ramah pada bapak-bapak itu.
"Mau ke mana?"
"Mau ke sebelah sini kok Pak."
Tisha menuju rumah yang bertepatan di sebelah rumahnya.
Tok ... tok ...
"Assalamu'alaikum ..."
"Wa'alaikumussalam. Eh Tisha?"
"Bu, ini ada lauk, saya masak banyak Bu." Tisha menyerahkan wadah yang ada di tangannya.
"Wah... Makasih ya Sha. Masuk dulu?"
Tisha menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Gak Bu, nih saya mau ke rumah Ibu Ainun."
"Oh makasih ya Sha ..."
"Sama-sama, Bu saya permisi."
"Iya."
Tisha kembali melangkah menuju rumah selanjutnya. Tisha kenal dan bertetangga baik dengan mereka, walaupun ia jarang keluar, tapi jika ada waktu untuk keluar pasti ia berkumpul dan ngobrol-ngobrol dengan ibu-ibu yang ada di situ.
Selesai membagikan makanan itu Tisha masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Ia tidak berselera untuk makan, yang tadi ia rasa lapar, sekarang sudah kenyang, kenyang makan harapan. Berharap malam ini ia makan malam bersama Faris namun harapan itu tidak menjadi kenyataan.
Tisha termenung duduk di kasur, ia tidak yakin, apakah ia akan mampu untuk terus bertahan.
***
Pagi ini sifat Faris masih sama, dingin dan cuek, bahkan ia tidak ingin sarapan dengan Tisha. Tisha sarapan sendirian, dan pergi ke kampus sendiri, tanpa Faris, biasanya ia bersama Faris, namun sekarang? Pria itu pergi bersama Hanung.
"Sha kenapa?"
"Aku lagi sedih Ti."
"Kenapa?"
"Aku rasa, kita akan pergi meninggalkan rumah ini dan kembali ke rumah Mama," jawab Tisha lalu menghela napasnya.
"Kenapa? Kalian bertengkar?"
"Tidak, aku lelah, aku lelah berjuang sendiri dan mungkin aku tidak akan pernah bisa mendapatkan hatinya, karena kekuatan cinta mereka lebih besar."
"Dia mengkhianati kamu?" tanya Maria
"Bahkan dia tidak mencintaiku."
"Ish... Pria itu tidak sebaik yang aku kira! tuh Mas ganteng kamu kok seperti itu?" ucap Tia
"Bukan Mas ganteng ku lagi, aku berhenti mengaguminya!" ucap Maria memalingkan wajahnya.
"Sabar, Sha ini ujian, kamu harus kuat dan sabar menghadapi semua ini," ucap Tia.
Tisha mengangguk pelan, lalu tersenyum tipis.
Selesai sarapan, Tisha pergi meninggalkan rumah dan menuju kampus, pergi menggunakan mobilnya sendiri, mobil yang sangat jarang ia pakai, karena ia sering ikut Faris.
Beberapa menit di perjalanan, Tisha sampai di kampus. Setelah memarkirkan mobilnya ia melangkah menuju kelasnya. Pagi ini ia merasa tidak bersemangat, ia ingin ingin tidur saja, melupakan apa yang saat ini terjadi.
Sampai di kelas, ia duduk. Tisha melipat kedua tangannya di atas meja, lalu merebahkan kepalanya di atas tangannya.
"Sudah kan tugas Pak Faris?"
"Sudah dong."
Tisha bangun dan menatap temannya. "Ada tugas?" tanyanya.
Wanita itu mengangguk. "Iya."
"Astaghfirullah, aku lupa. Wi nyontek dong, aku benar-benar lupa."
"Maaf Beb, aku tidak bisa," ucap Dewi yang duduk tidak jauh dari Tisha.
"Pagi," ucap Faris.
Tisha melongo melihat Faris sudah ada di kelasnya. Tisha sudah bersiap-siap untuk keluar kelas, karena ia lupa mengerjakannya.
"Tugas kumpul ke depan!"
Semua teman-teman Tisha sudah mengumpulkan tugas mereka ke depan.
"Siapa yang tidak mengerjakan?"
"Saya." Tisha mengangkat tangannya.
"Kamu lagi? Kalau ada tugas segera kerjakan! Jangan menunggu nanti, itulah akhirnya, kan lupa. Nanti ke ruangan saya! Dan sekarang KELUAR!" ucap Faris tegas dan lantang. Tisha yang mendengarnya bergidik ngeri mendengarnya. Tisha langsung keluar meninggalkan kelas itu.
Moodnya benar-benar hancur. Ia membutuhkan orang untuk mendengar curahan hatinya.
Sabarlah, Tisha...😭😭
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Akad (REVISI)
Ficção Geral15+ Menikah diusia muda bukanlah keinginanku, namun sayang, menikah muda sudah menjadi takdirku, di saat aku belum mempersiapkan diri ku, saat aku harus fokus untuk belajar, jodoh terlebih dahulu menghampiriku. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku ha...