Saat Tisha membuka matanya, ia sedikit bingung dengan keberadaannya, ia memejamkan matanya mencoba mengingat kembali apa yang terjadi, saat ia kembali teringat kejadian kemarin dadanya kembali sesak. Ia baru sadar, ia sudah tidak tinggal di rumah Faris lagi, ia sudah pergi dari rumah.
Tisha mengacak-acak rambutnya, lalu beranjak dari kasur. Ia mengambil pakaian ganti, setelah itu melangkah keluar kamar menuju kamar mandi yang ada di dapur.
"Eh, anak mama sudah bangun ..." ucap Tiara yang sedang sibuk dengan aktivitasnya.
"Ma, sudah adzan?" tanya Tisha.
"Mama gak adzan."
Tisha menepuk dahinya. "Bukan Mama, tapi di Masjid sudah adzan?"
Tiara terkekeh. "Oh di mesjid, maaf .ama gagal fokus. Sudah, bahkan Ayah sudah pulang dari mesjid."
"Sha mau mandi dulu."
"Iya, baunya sampai sini."
"Sha gak bau, coba Mama cium."
"Haha ... Gak usah."
Tisha tersenyum lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Tiara menghela napasnya. Ia masih tidak menyangka anaknya akan bercerai dengan pria pilihannya. Sungguh, ia merasa sangat bersalah sudah menyeret Tisha pada perjodohan itu.
Beberapa menit kemudian Tisha keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terbalut handuk.
"Mama masak apa?"
"Nasi kuning."
"Ah jadi rindu nasi kuning Mama. Sha mau siap-siap dulu terus makan."
"Hari ini kuliah?"
"Kuliah dong." Tisha melangkah keluar dapur menuju kamarnya.
Sampai di kamar, Tisha menatap dirinya di pantulan cermin sambil menggosok rambutnya menggunakan handuk.
"Semangat Tisha! Kamu harus melanjutkan kehidupan kamu! Jangan bersedih! Kamu wanita yang kuat!" gumamnya, lalu tersenyum manis, berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri.
Tisha mengepalkan tangannya di dada, tiba-tiba dadanya kembali terasa sesak. "Kuatlah!"
Sebelum turun ke bawah sarapan, Tisha shalat subuh terlebih dahulu, ini pun ia terlambat shalat subuh. Pagi ini ia bangun terlambat.
***
Tisha duduk di kursi panjang yang tidak jauh dari kelasnya, sebelum kelas dimulai ia untuk mengobrol dengan teman-temannya. Di saat-saat seperti inilah ia tidak memikirkan tentang apa yang terjadi pada kehidupannya. Di keramaian, bisa mengalihkan pikirannya yang berkecamuk. Tidak ada waktu untuk bersedih-sedih, ia tidak ingin terlalu memikirkannya, hanya membuat dadanya sesak dan sakit.
Tisha tertawa bersama teman-temannya, tidak hanya perempuan, ada laki-laki juga yang ikut bergabung. Walaupun mereka tidak satu kelas dengan Tisha, tapi Tisha akrab dengan mereka.
Tanpa Tisha sadari, sedari tadi Faris berdiri di ujung koridor sedang memperhatikannya. Pria itu merasa sedikit lega melihat Tisha tertawa, ia akui, Tisha memang wanita yang kuat, wanita itu tidak suka menampakan wajah sedihnya.
"Aku hanya bisa berdoa, semoga kamu bahagia Sha. Semoga nanti Allah hadirkan pria yang bisa membuat kamu bahagia." Faris tersenyum menatapnya, lalu pergi masuk ke dalam ruangannya.
"Seru banget, cerita apa?"
"Beni cerita tentang kak Tim."
"Nanti gue aduin ke kak Tim."
"Bukan keburukan Kak Tim, dia cerita pak Wawan pedekate dengan kak Tim."
"Beneran?! Gue sebenernya sudah lama curiga, soalnya Pak Wawan suka memperhatikan Kak Tim, ternyata oh ternyata, Pak Wawan suka!"
"Dah ah, aku mau ke kelas, nambah dosa aja ngumpul sama kalian," ucap Tisha beranjak meninggalkan mereka.
Tisha memasuki kelasnya, sudah ada beberapa teman-temannya yang datang. Tisha duduk di kursinya, lalu mengambil handphone yang ada di kantong celananya.
Tidak lama kemudian, mahasiswa di kelas Tisha berdatangan. Faris masuk ke kelas itu, karena memang dialah Dosen yang paling sering mengajar di kelas Tisha.
Tisha merasa biasa saja, sama seperti dulu, ia tidak menghindar dan tidak masalah jika terus bertemu lelaki itu, karena sudah seharusnya ia terus bertemu karena Faris adalah Dosennya.
Tisha menatap Faris yang sedang menjelaskan materi di depan sana. Sesekali Faris membalas tatapan Tisha, namun hanya beberapa detik, setelah itu ia kembali menatap mahasiswa lainnya.
Tiba-tiba Tisha teringat tentang hal yang pernah ia lakukan bersama Faris, walaupun hubungan mereka seperti itu, ada momen bahagia dan indah yang mereka ukir bersama yang tidak bisa Tisha lupakan, setidaknya ada kenangan indah yang bisa dikenang dan diingat.
"Andai masih ada ruang untukku di hatimu, mungkin aku tidak memilih pergi, Mas. Kata orang Tak perlu berusaha keras untuk mendapatkan cinta karena percuma berusaha jika ia tidak memiliki perasaan yang sama. Cinta yang baik itu saling memiliki perasaan bukan hanya salah satunya saja yang berusaha dan berjuang untuk mendapatkan, itulah sebab aku pergi, sebenarnya berat untuk berpisah Mas, namun aku harus bisa ikhlas dan rela walaupun harus terluka."
"Paham Tisha Aishah?" tanya Faris tiba-tiba. Tentu saja hal itu membuat Tisha terkejut.
"Paham Pak!" jawab Tisha sambil mengangguk.
"Bagus." Faris kembali berbicara, menjelaskannya.
Padahal nyatanya, Tisha tidak tau apa yang Faris jelaskan, ia sibuk melamun mengingat kenangannya bersama Faris.
Hampir satu jam Faris berada di kelas itu dan kini saatnya ia pergi meninggalkan kelas Tisha, karena waktunya berada di kelas itu sudah habis.
Setelah Faris pergi, Tisha pergi menuju kamar mandi. Saat ingin menuju kamar mandi, Tisha bertemu Faris, Faris tersenyum ke arahnya, lalu Tisha berhenti di depan pria itu.
"Em ... Kapan Bapak mau mengajukan permohonan cerai?" tanya Tisha mendongak menatap Faris.
"In syaa Allah secepatnya, Sha," jawab Faris.
"Semoga Alla permudah prosesnya."
"Aamiin. Mau ke mana?"
"Ke kamar mandi, mau ikut? Bercanda, Sha pergi dulu." Setelah mengatakan itu Tisha melangkah pergi meninggalkan Faris.
Ucapan Tisha mampu membuat Faris tersenyum, ia bersyukur, wanita itu tidak memusuhinya dan dendam padanya. Tisha masih bersikap seperti biasanya padanya.
"Sha ... Sha ... Beruntung banget pria yang akan jadi suami kamu, aku saja yang tidak bersyukur pernah memiliki mu, tidak membuka hati ini, karena aku sadar aku masih banyak kekurangan. Aku tidak pantas untuk kamu, ada banyak sekali yang harus ku perbaiki. Berat rasanya melepaskan kamu Sha, tapi ini demi kebaikanmu. Bersamaku kamu tidak menemukan kebahagiaan, mungkin dengan cara aku melepaskan mu, kamu akan menemukannya, menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah kamu temukan, in syaa Allah ..." gumam Faris lalu beranjak menuju kantornya.
Sesampainya di kantor, Faris duduk di kursinya, beristirahat sejenak sebelum melanjutkan mengajar. Sesekali ia memijit pelipisnya, hari ini ada sesuatu yang hilang darinya, yaitu semangat. Ia merasa kehilangan semangat, ia merasa moodnya kurang baik dan ada banyak hal yang harus ia pikirkan.
"Nah minum," ucap Hanung menaruh secangkir teh hangat di atas meja Faris.
Faris tersenyum. "Makasih," ucapnya lalu meminumnya.
"Lagi ada masalah?" Hanung duduk di kursi depan meja kerja Faris.
Faris menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gak ada, aku baik-baik saja."
Setelah meminum teh itu, Faris beranjak pergi meninggalkan kantor dan Hanum yang terdiam menatap kepergiannya.
Next gak
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Akad (REVISI)
Fiksi Umum15+ Menikah diusia muda bukanlah keinginanku, namun sayang, menikah muda sudah menjadi takdirku, di saat aku belum mempersiapkan diri ku, saat aku harus fokus untuk belajar, jodoh terlebih dahulu menghampiriku. Mau tidak mau, suka tidak suka, aku ha...