Now playing: Let Me Down Slowly by Alec Benjamin
Samuel mengucapkan selamat tinggal kepada Isabelle dan neneknya sekitar sore hari. Cowok itu mengambil jaket birunya, lalu berjalan ke luar rumah menuju Chevrolet merahnya. Ketika Samuel tiba di serambi rumah, Isabelle mengikuti cowok itu ke luar, lalu menutup pintu depan.
Isabelle menggigit bibir sambil menusuk-nusuk ujung jarinya dengan kuku. Ia menghela napas dalam-dalam, lalu berkata, "Sam, aku …."
"Ada masalah apa, Isabelle?" tanya Samuel lembut setelah selesai memakai jaket.
Isabelle mengembuskan napas sambil memejamkan mata sejenak. Setelah ucapan Grandma yang cukup spekulatif hari ini, aku memang seharusnya tidak bisa tinggal diam dan membiarkannya saja. Kemudian, ia mengangguk mantap—Samuel mengangkat sebelah alis karena ia tak tahu Isabelle sedang memikirkan atau menyetujui apa—lalu berkata, "Sam, ke depannya lebih baik kau jangan ke rumahku lagi."
"Apa? Kenapa? Memangnya kehadiranku membawa masalah untukmu? Aku lumayan suka mampir ke sini," tanya Samuel heran.Isabelle mengernyitkan kening sambil berdecak frustrasi begitu mendengar sanggahan Samuel. "Oh my God. Memangnya kau tidak terganggu dengan hal-hal di rumahku? Rumahku begitu berantakan, tidak ada tempat yang nyaman untuk duduk, lalu ada ucapan seperti tadi dari Grandmaku—"
"Aku tidak mengerti. Bukankah tadi Grandmamu hanya bercanda? Aku tidak terlalu terganggu mengenai itu."
"Tapi—"
Samuel berdiri bertumpu pada sebelah kaki, lalu mengusap wajah dengan kasar. "Isabelle, aku tidak paham dengan semua alasanmu. Sebenarnya ada masalah apa? Kau bisa langsung bilang. Aku akan berusaha memperbaikinya."
Isabelle berkacak pinggang. "Aku tidak bilang ada masalah. Aku hanya memintamu untuk jangan mampir ke rumahku lagi. Kau mengerti, Sam?"
Samuel menggeleng.
Isabelle menggigit pipi bagian dalam. "Aku sepenuhnya baik-baik saja. Sama sekali tidak ada kesulitan ataupun masalah. Tidak ada yang perlu diubah. Kau hanya tidak perlu datang ke rumahku."
Samuel berdecak sambil memasukkan tangannya ke saku. "Isabelle, kau seharusnya bisa memberitahuku. Tidak perlu seperti ini."
Isabelle menghela napas sambil mencengkeram ujung pakaiannya. Ia berusaha menjaga nada suaranya supaya tetap terjaga dan tidak terdengar membentak. "Tidak. Kau tidak mengerti. Sam, lebih baik kau cepat pulang saja."
"Baiklah. Aku tidak mengerti apa yang sedang kaualami, Isabelle. Tapi kuharap keadaanmu segera membaik." Samuel mengembuskan napas, lalu berjalan dengan kesal untuk kembali ke mobilnya. Belum sampai Samuel masuk ke Chevrolet, Isabelle sudah masuk ke rumah dan menutup pintu.
Samuel mengacak rambutnya frustrasi. Sebenarnya Isabelle kenapa? Apa ia datang bulan? Tapi mengapa masalah yang diributkannya aneh sekali? Memikirkan bahwa ia mungkin tidak akan mendapat jawaban atas pertanyaan itu, Samuel pun masuk ke mobilnya, lalu menyalakan mesin, mengangkat hand rem, dan menginjak pedal gas. Sebelum mobilnya melesat meninggalkan rumah Isabelle, cowok itu menyempatkan diri untuk melirik rumah Isabelle sebentar. Cewek itu bahkan tidak melihatnya dari jendela.
Benar-benar marah? Ia mengernyitkan kening, kemudian memutuskan untuk segera pergi, seperti yang diminta Isabelle.
***
Setelah meninggalkan Samuel di depan pintu, Isabelle berjalan cepat menuju kamarnya. Ia menutup pintu, lalu menenggelamkan wajahnya di bantal. Ia menarik selimut tebalnya untuk menutupi kepala, lalu merenung dalam diam.
Hubungannya dengan Samuel tidak bisa dibilang lama. Namun, kehadiran cowok itu sangat berarti bagi Isabelle. Relasi memang mereka masih sebatas hubungan platonik—Isabelle juga belum memikirkan sesuatu yang lebih dari itu—tetapi cowok itu telah membuatnya menemukan kehidupannya kembali. Cowok itu membuat Isabelle yakin bahwa ambisinya mencari botol parfum antik itu bukan hal konyol. Cowok itu membuat Isabelle yakin bahwa usahanya tidak akan berakhir sia-sia. Namun, setelah mengetahui bahwa ternyata Samuel pemilik botol parfum antik yang selama ini Isabelle cari, ia kehilangan harapannya. Samuel sangat membutuhkan botol parfum tersebut, tetapi Isabelle juga menginginkan benda itu.
Isabelle sempat terpikir untuk merelakan benda itu untuk Samuel saja. Namun, ketika mendengar ucapan neneknya seusai makan tadi, ia sadar bahwa neneknya sedikit banyak masih mengharapkan botol parfum antik itu kembali ke rumah kecilnya.
Semakin memikirkan hal-hal rumit tersebut, kepala Isabelle semakin pusing. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuat. Menghadapi semua tekanan semu ini, mendadak dada Isabelle terasa sesak. Matanya perlahan-lahan menitikkan air. Begitu menyadarinya, Isabelle langsung mengelap air mata dengan sprei bantalnya.
Cengeng sekali. Bukankah ini hanya perpisahan yang wajar dengan teman? Kau juga melakukan ini demi kebaikannya. Tidak ada yang perlu disesali atau dipusingkan. Orang-orang memang selalu datang dan pergi dalam hidup. Pada prinsipnya, tidak perlu terlalu banyak berharap saat mereka datang. Tidak perlu terlalu bersedih pula saat mereka pergi, pikir Isabelle. Ia menghela napas berat, tetapi beban di dadanya terasa semakin berat. Ia pun menenggelamkan wajahnya lagi ke bantal dan terisak pelan.
"Isabelle? Apa yang sedang kau lakukan?" Tiba-tiba, terdengar suara nenek Isabelle dari luar kamar.
Isabelle yang mendengar panggilan tersebut langsung mengangkat kepala. Ia menarik napas dalam-dalam sambil menghapus air matanya, lalu cepat-cepat menjawab, "Aku, yeah. Sebentar." Ia berniat turun dari kasur untuk membuka pintu kamar, tetapi tiba-tiba ujung kakinya menendang sebuah kardus berisi pernak-perniknya. Kardus itu pun jatuh dan semua isinya tumpah ruah keluar.
"Apa di dalam baik-baik saja? Perlukah Grandma membantumu?" tanya neneknya lagi.
Isabelle menggeleng cepat. Ia tidak terpikir bahwa neneknya tidak akan melihat gestur itu. Ia segera mengecek barang-barang yang baru saja tumpah dari kardus itu. Setelah memastikan bahwa tidak ada benda yang rusak, ia pun menjawab, "Tidak perlu, Grandma. Aku hanya mencari sebuah barang. Aku sepenuhnya baik-baik saja."
"Oh, baiklah. Take care," ujar neneknya. Lalu wanita tua itu pun menjauhi kamar.
Isabelle mengembuskan napas, lalu melihat barang-barang yang berantakan di kamarnya. Ia memasukkannya satu per satu ke dalam kardus. Gerakannya terhenti ketika ia melihat kotak botol parfum antik dari Samuel. Isabelle segera membuka kotak tersebut untuk mengecek kondisi botol. Ia pun mengelus dada lega ketika mengetahui botol itu baik-baik saja. Ia meletakkan benda tersebut di atas meja bufet, lalu memandanginya sebentar.
Bagus juga. Meskipun kelak mungkin aku dan Sam tidak bisa memiliki hubungan seperti ini lagi, setidaknya kami masih mempunyai kenang-kenangan, pikir Isabelle optimis. Ia berusaha tersenyum, tetapi yang tampak malah raut wajah yang jelek sekali. Bibirnya bergetar kelu. Ia menghela napas lagi dan mengusap mata dengan punggung tangan. Rupanya, melepaskan seseorang tidak semudah yang dibayangkan.
***
Liburan sepuluh hari Thanksgiving telah berakhir. Isabelle berhasil melewatinya dengan buruk. Ia menghabiskan sisa liburan dengan membantu neneknya membuat kue. Setelah itu, ia akan mengurung diri di kamar sambil memasang reed diffuser dari Samuel. Hidupnya menjadi sangat santai, melankolis, dan tidak produktif.
Waktu masuk sekolah pun tiba. Isabelle pikir atmosfer kesibukan belajar dapat membangkitkan semangatnya kembali. Hari itu, Isabelle berangkat agak awal. Ia memasukkan roti pie stroberinya ke loker, mengganti moodboard di balik pintu loker dengan moodboard nuansa Desember, lalu duduk-duduk sebentar sambil menunggu bel masuk kelas berbunyi.
Beberapa saat kemudian, Olivia datang menghampiri Isabelle dengan langkah gontai. Kantung mata cewek itu terlihat tebal dan hitam sekali seperti mata panda. Isabelle menaikkan sebelah alis dan tersenyum kecil. "Well, liburanmu menyenangkan?"
Olivia duduk mendadak di sebelah Isabelle. Kemudian, ia meregangkan tulang sambil mengerang sebal. "Astaga, liburan Thanksgiving kurang lama. Libur Natal masih sebulan lagi. Kira-kira kapan aku bisa menjadi babi santai yang cantik, ya?" Ia menyandarkan kepala ke pintu loker—entah loker siapa.
"Babi pada dasarnya tidak cantik," jawab Isabelle datar.
"Hei, jangan bilang begitu. Spesies babi cangkir itu lucu sekali," sanggah Olivia sungguh-sungguh.
Isabelle tertawa pelan. "Baiklah. Terserah padamu."
"Omong-omong, bagaimana denganmu? Apakah daging kalkun panggangmu sudah habis?" tanya Olivia.
"Tentu saja sudah habis. Kalau tidak, itu pasti sudah busuk, berjamur, dan dikerubungi belatung," jawab Isabelle.
Olivia bergidik jijik. "Baiklah. Jangan bahas sampai mendetail seperti itu," ujarnya. "Oh, ya. Omong-omong, jadi siapa saja yang ikut menghabiskan daging kalkun itu? Grandmamu tidak benar-benar mengajak tetangga yang mempunyai anjing yang bulunya sering rontok itu, kan?"
"Tentu saja tidak. Aku berhasil mengajak orang, kok."
Olivia langsung tertarik. "Jadi, sekarang kau sudah punya teman lain? Aku nomor dua? Beritahu siapa yang mengalahkan posisiku di hatimu."
Isabelle berdecak, lalu memukul lengan Olivia pelan. "Tentu saja kau masih nomor satu."
"Oh, ya? Lalu siapa orang yang datang pada hari raya Thanksgiving? Apakah—"
Kriiing. Bel masuk kelas berbunyi. Isabelle spontan bangkit berdiri, lalu berkata pada Olivia, "Ayo, masuk kelas."
Olivia mengangguk sambil cemberut. Yah, tidak jadi tahu siapa tamu beruntung yang mendapat kesempatan makan daging kalkun panggang Isabelle, sungutnya dalam hati. Namun, cewek itu akhirnya tidak meributkan hal tersebut lagi.
***
Aktivitas dan tanggung jawab selama di sekolah rupanya sangat efektif dalam meningkatkan produktivitas Isabelle. Mulai dari kegiatan belajar di kelas, makan di kafetaria, berjalan-jalan di lapangan, dan ketergesa-gesaan ketika hendak menukar buku-buku di loker membuat Isabelle kembali hidup. Cewek itu tidak lagi banyak melamun dan cenderung fokus memperhatikan apa yang sedang dikerjakannya. Ia menjadi dirinya yang aktif dan lincah seperti dulu.
Sepulang sekolah, Isabelle kembali pada rutinitasnya untuk bekerja paruh waktu di Dalton's. Meskipun sekarang ia tidak tahu apa motifnya untuk tetap bekerja, tetapi setidaknya kegiatan ini dapat menambah pengalaman, pengisi waktu luang, sekaligus pengisi celengan. Siang itu, Olivia cukup senggang dan bersedia memberi tumpangan bagi Isabelle untuk menuju Dalton's. Isabelle pun dengan senang hati menerimanya.
Sesampainya di toko, Isabelle mulai bersih-bersih dan membuang salju-salju yang menggumpal di depan pintu. Sementara itu, Olivia duduk di meja konter sambil makan dan mengajak Isabelle mengobrol.
"Isabelle, mengapa teman cowokmu yang kemarin itu—siapa, ya namanya? Sam kalau tidak salah—tidak datang hari ini?" tanya Olivia ringan. Setelah sekian waktu memperbincangkan soal liburan, kini saatnya kembali ke kenyataan.
Isabelle yang sedang mengelap etalase kaca spontan menghentikan gerakannya. Ia menoleh ke sekeliling ruangan. Tanpa kehadiran Samuel, rasanya memang ada secuil bagian yang hilang. Isabelle menunduk sambil memandangi sepatunya.
"Mungkin ia sibuk," jawabnya. Atau mungkin, ia sudah lelah menghadapiku dan tidak mau kembali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragrance Between Us
Romance[OPEN PRE ORDER 02-22 FEBRUARI 2021] Isabelle Clarke ingin membeli kembali botol parfum antik yang dijual neneknya sepuluh tahun lalu. Jadi, sejak duduk di bangku sophomore, ia mengambil kerja paruh waktu di Dalton's, toko barang antik di Culpeper...