Now playing: I'm Coming Home by Skylar Grey***
Pekan-pekan itu adalah masa di saat berbagai perlombaan olahraga musim gugur dilaksanakan. Meskipun tidak semua siswa bergabung dalam klub olahraga, tetapi semuanya diwajibkan untuk berpartisipasi dalam perlombaan olahraga. Ada yang menjadi pemain, wasit, pemandu sorak, pelayan medis, atau sekadar meramaikan bangku lapangan. Sebenarnya, mayoritas siswa hanya membantu memenuhi bangku lapangan.
Di pertengahan musim gugur yang sangat berangin itu, Ms. Elizabeth berjalan memasuki ruang kelas sambil mengepit sebuah map berwarna cokelat. Setelah meletakkan map yang dibawanya ke atas meja, ia berdiri menghadap murid-murid di kelas.
"Tolong perhatiannya, anak-anak!" Ms. Elizabeth memukul-mukul meja untuk mengalihkan fokus murid-murid di kelas itu.
Semua murid pun langsung menghentikan pembicaraan mereka masing-masing dan berbalik menghadap guru mereka itu. Ms. Elizabeth terkenal sebagai salah satu guru paling kolot dan teliti di sekolah Isabelle. Ia sudah terbiasa meminta perhatian muridnya dengan memukul meja, sampai-sampai mungkin kulit di telapak tangannya sudah menebal. Semua orang sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti itu, sehingga tidak ada yang merasa takut lagi ketika wanita berusia empat puluhan itu menggebrak meja.
"Musim ini, tim sekolah kita berhasil memenangkan lomba bisbol tingkat Culpeper hingga babak semifinal. Ini merupakan prestasi yang luar biasa bagi sekolah kecil kita," ujar Ms. Elizabeth. Ia menjeda perkataannya dengan tepuk tangan sambil tersenyum bangga, tetapi tidak ada satu pun murid di kelasnya yang mengikuti gestur itu. Ia menegakkan tubuh kembali, lalu berdeham. "Jadi, untuk mengapresiasi teman-teman dari tim bisbol, besok hari Kamis siang, seluruh murid kelas junior mendapat giliran untuk menyaksikan pertandingan bisbol sekolah kita di lapangan Eastern View High School. Ada pertanyaan?"
Seorang cewek bernama Madison mengangkat tangannya. "Ms. Elizabeth, apakah ada dress code untuk menonton pertandingan besok? Apakah kita ada pelajaran? Bagaimana kita berangkat? Apakah langsung dari rumah atau berkumpul di sekolah dulu? Karena orang tuaku sedang melakukan perjalanan dinas dan aku mungkin tidak bisa berangkat ke tempat-tempat jauh sendirian," tanyanya beruntun.
Ms. Elizabeth memutar bola mata sambil mengusap keningnya. "Well, tunggu aku menjelaskan satu persatu, Madison Mason. Besok kalian semua hanya perlu memakai kaus warna kuning bebas, sesuai corak sekolah kita. Dimohon dengan sangat untuk jangan memakai kaus dengan lingkar dada yang rendah. Untuk bawahan, kalian bebas memakai celana apa pun, asalkan bukan celana superpendek yang memperlihatkan bokong datar kalian."
Mayoritas murid cewek spontan berdecih, mencebik, dan mendengkus begitu mendengar ucapan itu.
Ms. Elizabeth langsung memukul meja lagi. "Tolong perhatiannya sebentar. Aku belum selesai berbicara."
Semua murid pun kembali berfokus pada wanita itu sambil memandang dengan tatapan juling. Isabelle tidak tersinggung dan tidak tertarik dengan ucapan Ms. Elizabeth. Ia membuka handphone di laci meja, lalu menelusuri Google dan membaca artikel-artikel mengenai cara membersihkan botol parfum antik yang berkerak.
"Baik. Jadi, kalian tetap akan menghadiri kelas seperti biasa, sesuai jadwal masing-masing. Tengah hari nanti, akan ada pengumuman dari speaker untuk memberi instruksi pada murid kelas junior. Nanti kalian bisa berkumpul di lapangan belakang sekolah. Di sana ada bus besar yang akan mengantarkan kalian menuju Eastern View High School."
Seorang murid cowok bernama Jason mengangkat tangan untuk bertanya, tetapi Ms. Elizabeth juga mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada cowok itu untuk berhenti melakukan gestur tersebut. "That's all. Pembahasan mengenai menonton pertandingan bisbol sampai di sini saja. Aku tidak mau menerima pertanyaan lagi. Sekarang kita masuk ke pelajaran Trigonometri." Wanita itu menyalakan laptop dan menancapkan kabel proyektor, mengabaikan Jason yang mengumpat-umpat kesal.
Menyadari pelajaran telah dimulai, Isabelle pun mematikan handphone dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya. Ia mengeluarkan buku catatan, lalu mencatat penjelasan membingungkan dari Ms. Elizabeth.
***
Siang itu, setelah mendengar pengumuman dari speaker yang menyuruh semua murid untuk segera berkumpul di lapangan, Isabelle langsung merapikan barang-barang di mejanya dan ke luar kelas bersama teman-teman yang lain. Ia mampir sebentar ke kafetaria di lantai satu untuk menemui Olivia, sekaligus membeli makanan ringan dari mesin penjual otomatis.
"Isabelle, aku di sini!" seru Olivia begitu Isabelle sampai di depan pintu kafetaria.
Isabelle pun berlari kecil menghampiri sahabatnya. "Apakah kau sudah membeli makanan?"
"Iya. Ayo, kau cepat membeli makanan juga. Kita harus segera masuk ke bus, supaya mendapatkan tempat duduk yang nyaman," ujar Olivia bersemangat.
"Baiklah, baiklah." Isabelle mendekati mesin penjual otomatis, lalu memasukkan uang tiga dolar. "Omong-omong, kau kelihatannya bersemangat sekali. Apakah ada sesuatu di pertandingan kali ini?" tanya Isabelle sambil mengambil botol jus dingin dan keripik tortilla yang meluncur ke dasar mesin.
Olivia menyelipkan pergelangan tangannya di antara lengan Isabelle, lalu mengajak cewek itu segera menuju ke lapangan sekolah. Ia menjawab pertanyaan Isabelle sambil berjalan. "Tentu saja aku sangat bersemangat. Ini Eastern View High School, OK? Itu sekolah anak-anak orang kaya, dan kudengar ada banyak cowok tampan di sana," tutur Olivia dengan wajah berseri-seri.
"Benarkah?"
"Iya. Aku pernah mencari tahu akun-akun Instagram murid-murid di sana. Mereka bahkan lebih tampan daripada bintang film Netflix!" Olivia mengakhiri kalimatnya dengan suara agak melengking sehingga Isabelle refleks melengkungkan alis.
"Baiklah. Kita lihat saja nanti di sana," sahut Isabelle singkat.
Sesampainya di lapangan belakang, ia dan Olivia segera naik ke bus kuning besar bertuliskan Adler High School. Mereka duduk di tempat duduk kedelapan dari depan, lalu melanjutkan percakapan hingga tiba di Eastern View High School.
***
Lahan Eastern View High School amat sangat besar. Ada beberapa lapangan dan satu lintasan lari di situ. Sepertinya perkataan Olivia mengenai murid-murid di sekolah ini adalah anak orang kaya benar juga. Isabelle melihat murid-murid yang berlalu-lalang di koridor depan kelas. Semuanya terlihat bersinar, seperti gambaran remaja SMA yang ditampilkan di film-film Young Adult Netflix.
Isabelle memandang dirinya sendiri yang hanya mengenakan sweater kuning longgar, celana jeans motif sobek-sobek, dan sepatu kets yang sangat kasual—memang tidak bisa dibandingkan dengan murid-murid di Eastern View High School. Beberapa kelompok pemandu sorak dari berbagai sekolah berlatih melakukan hand stand dan back flip di pinggir lapangan, tim-tim bisbol melakukan pemanasan dan peregangan, sementara para prefek berlalu lalang di depan kantor guru sambil membawa papan kepit berisi daftar hadir tamu-tamu dari sekolah lain.
Melihat suasana itu membuat perut Isabelle mendadak terasa mulas. Daripada berdiri berlama-lama di pinggir lapangan lacrosse depan sekolah, ia memutuskan untuk mengajak Olivia segera duduk di pinggir lapangan bisbol tempat berlangsungnya pertandingan.
"Hei, mengapa buru-buru sekali ke lapangan bisbol? Kau sudah tidak sabar menonton pertandingannya, ya?" protes Olivia sambil mengerucutkan bibir.
"Suasana sekolah ini mengintimidasi," gumam Isabelle sambil duduk di bangku lapangan. Ia bertopang dagu.
Olivia bersedekap. "Ayolah, ini baru namanya 'sekolah'. Sekolah kita itu namanya 'karantina'," rajuknya.
Isabelle masih bertopang dagu sambil menggeleng pelan. Sejak dulu, ia tidak suka dengan atmosfer seperti ini—suasana hura-hura yang terakhir dialami sebelum orang tuanya meninggal. Perasaan seperti ini tidak pernah berubah, bahkan setelah ia berteman dengan Olivia yang terbuka.
Olivia menghela napas. "Kalau kau tidak mau ikut, aku akan berjalan-jalan sendiri," ujarnya.
Isabelle mengangguk. "Baiklah. Selamat bersenang-senang." Ia melambaikan tangan ke arah Olivia yang berjalan menuruni bangku lapangan.
Olivia balas melambaikan tangan dengan berat hati, lalu berjalan cepat melewati lapangan dan bergabung dengan murid-murid dari sekolah lain yang melihat-lihat kafetaria.
***
Isabelle sedang memainkan tumpukan daun-daun maple kering yang berserakan di bawah bangku lapangan dengan kakinya, ketika tiba-tiba seorang cowok berkaus polo biru muda mendekatinya.
"Hei, kau yang bekerja di Dalton's itu, kan?" sapa cowok itu tiba-tiba.
Isabelle spontan berpaling dari tumpukan daun-daun kering dan mendongak. Selama beberapa detik, napasnya tertahan dan jantungnya terasa berhenti berdetak. Samuel Simms, batinnya dalam hati.
Ketika melihat Isabelle tak kunjung menjawab, cowok itu bertanya lagi. "Kau masih mengingatku?"
Isabelle pun mengangguk sekali. "Tentu. Kau yang membeli botol parfum antik warna biru laut itu, kan?"
"Ha! Benar sekali. Tak kusangka ingatanmu sebaik itu."
Seleraku terhadap barang antik mirip sekali denganmu. Tentu saja aku mengingatmu, ujar Isabelle dalam hati. Namun, ia hanya menyunggingkan senyum tipis dan tidak mengatakan apa pun.
Samuel pun duduk di samping Isabelle. "Omong-omong, ibuku suka sekali dengan botol parfum itu, lho. Apa tokomu punya punya jenis lain yang sama menariknya?"
Isabelle berpikir sejenak. "Menarik atau tidak itu objektif. Kau boleh mampir ke Dalton's lagi untuk melihat-lihat sendiri. Ada beberapa barang yang baru datang juga. Barang dari Etsy ada yang diturunkan harganya dan didistribusikan ke Dalton's," jelasnya.
"Kelihatannya menarik. Aku akan ke tokomu lagi kapan-kapan," sahut Samuel sambil menyunggingkan senyum ramah. "Oh, ya. Siapa namamu? Apa kau juga murid tamu? Atau cheerleader? Atau pemain?"
Isabelle tertawa sambil menggeleng. "Namaku Isabelle Clarke. Dan aku tentu saja bukan cheerleader maupun pemain tim. Bagaimana denganmu? Kau murid sekolah ini?"
"Iya. Omong-omong, kau dari sekolah yang mana?"
"Adler High School."
Samuel mengangguk beberapa kali. "Daripada kau terus duduk di sini, lebih baik kita berjalan-jalan ke kafetaria. Ada banyak makanan enak di sana," ajaknya sambil bangkit berdiri.
Isabelle tidak langsung menerima ajakan itu. Ia memikirkan isi dompetnya dulu selama beberapa detik. "Ehm … sepertinya tidak perlu. Aku bisa—"
"Sudahlah. Lihat-lihat dulu saja." Samuel menarik pergelangan tangan Isabelle hingga cewek itu berdiri dan mengikutinya. Setelah memastikan Isabelle berjalan di sampingnya, Samuel pun melepaskan pegangannya. Ia memasukkan tangan ke saku.
"Omong-omong, mengapa kau tidak bergabung bersama teman-teman sesekolahmu?" tanya Isabelle berbasa-basi.
Samuel mengedikkan bahu. "Mereka ribut dan berisik."
Isabelle tertawa kecil. "Teman-teman sekolahku juga seperti itu, tapi aku punya satu teman baik."
"Itu kedengarannya bagus," sahut Samuel sambil mengangkat sebelah alisnya yang terukir sempurna.
Samuel mengajak Isabelle menuju kafetaria dan berhenti di depan konter yang menjual minuman segar. "Hei, mau mencoba jus mango float? Ini berbeda dengan yang dijual di KFC. Punya sekolah kami enak sekali. Kalau kau suka minuman manis, kupikir kau juga akan menyukai ini."
"Eh … tidak usah," tolak Isabelle langsung, mengingat isi dompetnya yang tidak banyak.
"Kau tidak suka minuman seperti ini, ya? Kupikir selera para peminat barang antik tidak akan berbeda jauh."
"Bukan begitu. Kupikir aku juga akan menyukainya, tapi aku tidak membawa cukup uang," aku Isabelle sambil meringis.
Samuel berdecak. "Ah, ya, Tuhan. Kau tidak perlu terlalu sungkan. Aku adalah siswa dari sekolah tuan rumah. Aku akan mentraktirmu kali ini."
"Terima kasih banyak …."
"Kau boleh memanggilku Sam."
"OK, Sam."
Samuel mengeluarkan kartu pelajar dan menggeseknya di scanner di atas meja konter. Kemudian, si penjual menyerahkan segelas jus mango float berwarna kuning segar kepada Isabelle. Isabelle menerima minuman itu sambil tersenyum lebar, lalu mengucapkan terima kasih sekali lagi pada cowok itu.
Mereka berjalan-jalan ke sekeliling Eastern View High School selama beberapa saat lagi, lalu kembali ke bangku lapangan ketika pertandingan bisbol dimulai.
Isabelle tak menyangka bahwa pertemuan keduanya dengan Samuel akan terjadi di pinggir lapangan bisbol Eastern View High School, dinaungi daun-daun maple yang menguning di musim gugur. Ia meminum jus mango float yang dibelikan Samuel, sambil memandang cowok yang duduk di sisinya itu membicarakan banyak hal mengenai ulang tahun ibunya beberapa minggu lalu dan reaksi mengenai botol parfum antik yang dijual Dalton's.
Beberapa saat kemudian, Samuel mengganti topik pembicaraan. "Isabelle, apa kau berangkat bersama teman-teman sesekolahmu tadi?"
Isabelle mengangguk. "Ya. Aku dan teman-teman naik bus sekolah kemari. Namun, ada beberapa siswa yang membawa mobil sendiri. Sepertinya mereka merencanakan hang-out setelah menghadiri kegiatan ini. Omong-omong, mengapa kau tiba-tiba menanyakan hal ini?"
Samuel menggaruk tengkuk, lalu mengusap keringat yang membasahi lehernya sambil tersenyum malu-malu. "Kalau begitu, kau mau kuantar pulang?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Fragrance Between Us
Roman d'amour[OPEN PRE ORDER 02-22 FEBRUARI 2021] Isabelle Clarke ingin membeli kembali botol parfum antik yang dijual neneknya sepuluh tahun lalu. Jadi, sejak duduk di bangku sophomore, ia mengambil kerja paruh waktu di Dalton's, toko barang antik di Culpeper...