"Bonyok lo keluar sama adik lo, tadi. Waktu gue ke sini, kebetulan mereka mau keluar, sengaja gak pamit sama lo katanya lagi capek dan tidur."
"Buat apa juga kamu ke sini? Gak ada yang minta dan gak ada yang nyuruh."
"Ayo, gue tepatin janji gue ke elo. Mumpung belum malem banget."
"Udah nggak pengin. Kamu pulang aja."
"Ra ...."
Fira menatap Aras yang duduk di seberangnya. Mereka masih ada di meja makan. Setelah Fira selesai makan, gadis itu tidak beranjak sama sekali. Niatnya ingin mengusir Aras, tapi hati kecilnya justru berkata lain--ingin Aras tetap di rumahnya.
Alih-alih pulang, Aras juga masih keukeh untuk menebus janjinya yang tertunda tadi siang. Lelaki itu pulang pukul lima sore, lalu langsung membersihkan diri. Baru setelah maghrib, ia menuju ke rumah Fira.
Tidak ia sangka, dirinya malah bertemu dengan orang tua Fira dan adiknya--yang ia kenal bernama Ibra. Mama Fira bilang, gadis itu masih ada di kamar, belum keluar sama sekali sejak pulang sekolah. Fira juga beralasan mengantuk, jadi Mama Fira tidak mau mengganggu. Berpikir jika Fira lelah karena banyak tugas di sekolah--karena gadis itu sudah kelas 12.
Namun, Mama Fira tidak tahu jika dirinyalah alasan kenapa anak gadisnya itu tidak mau keluar kamar.
Aras, boleh berpendapat seperti itu, kan? Menganggap jika Fira tidak mau keluar kamar karena memang kesal padanya?
Padahal, tadi siang Aras tidak ada bilang jika ingin membatalkan janjinya, hanya menunda. Karena Fira terlanjur pergi begitu saja siang tadi, ia tidak bisa mengatakan jika nanti malam saja menebus janjinya.
Dan, ya ... beginilah sekarang. Aras bahkan bingung harus bagaimana.
"Kamu pulang aja, Ras." Fira beranjak. Membawa piring dan gelas yang ia pakai tadi ke westafel. Ia menyalakan keran dan mulai mencuci.
Dari meja makan, Aras masih bisa melihat punggung Fira. Gadis itu ... kenapa aneh dan bisa membuatnya merasa seperti ini? Perasaan yang sulit untuk dijelaskan.
Apa ... dirinya mulai nyaman akan kehadiran Fira?
Hah? Tidak salah?
Ya ... mungkin, menerima kehadiran Fira sebagai teman, tetangga dan kakak kelasnya bukanlah hal buruk, kan?
Asyik melamun, Aras tidak sadar jika Fira sudah selesai mencuci piring dan gelas. Fira yang melihat Aras melamun itu langsung menyipratkan air ke wajah lelaki itu. Membuat Aras terkejut.
"Ra!"
Fira tertawa. "Ngelamun apa, tuh? Serius amat," ujarnya.
Aras mengusap wajahnya. Ia bangkit dan menyeret lengan Fira begitu saja. "Ayo!" ajaknya.
"Hah? Aduh! Ngapain, sih! Aku gak mau keluar rumah, Aras!"
Aras berhenti melangkah dan menjauhkan tangannya. Fira yang melihat itu langsung memegangi tangan Aras, menyatukannya kembali. Aras langsung melotot.
"Ra ...."
"Kan aku udah bilang, kalau udah digenggam, jangan dilepas!"
Aras merotasikan bola matanya. "Gue cuma mau nebus janji gue, sekarang. Dan, habis itu, beres!" paparnya dengan sedikit kesal.
"Tapi, aku nggak mau!"
"Mau lo apa, sih, Ra?" tanya Aras.
Fira menatap Aras dengan datar. Ia melepas genggamannya pada tangan Aras. "Kamu yang maunya apa? Tadi siang kamu sendiri yang gak mau nepatin janji, tapi sekarang malah maksa aku. Kamu yang harusnya tanya ke diri sendiri, apa mau kamu. Bukannya setelah tadi siang aku nggak ada lagi minta dan nyuruh kamu buat nepatin janji itu? Nggak ada, kan? Tapi, kenapa kamu malah di sini? Berlagak seolah kamu nyesel karena udah batalin janji kamu sendiri sama aku," paparnya dengan gamblang. Aras nyaris mati kutu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Aras! (SUDAH TERBIT)
Ficção AdolescenteKata sebagian orang, sebuah usia adalah patokan yang menjadi penghalang untuk siapapun dalam menjalani suatu hubungan. Tapi, tidak untuk Aras dan Fira. Fira usianya dua tahun di atas Aras. Namun, ia menyukai lelaki itu. Naasnya, Aras cukup pendiam d...