Ketika bel pulang sekolah berbunyi, Fira bergegas menuju parkiran bersama Dhea yang akan pulang menggunakan angkutan umum. Seperti biasanya, Fira akan pulang bersama Aras. Hari ini Aras tidak ada acara apapun, terbukti dari tidak ada satu pesan pun yang dikirim oleh lelaki itu padanya. Fira pun sama, ia bisa langsung pulang dengan Aras karena tidak ada acara apapun.
Tiba di parkiran, suasana di sana masih ramai. Dhea melambaikan tangan sambil keluar dari lingkungan sekolah. Bisingnya suara murid-murid dan kendaran membuat Fira kesulitan mencari keberadaan Aras.
Walaupun ia tahu di mana Aras memarkirkan motornya, ia tetap berada di tepi parkiran. Malas berdesakan hanya untuk menuju ke motor Aras berada. Dirinya berdecak kesal karena parkiran tidak kunjung surut keramaiannya.
Menoleh ke kanan dan kiri, tiba-tiba saja sebelah tangannya ditarik. Fira memekik karena terkejut. Gadis itu menatap sosok tinggi di hadapannya yang berusaha untuk menarik dirinya.
"Lepasin! Tolong!"
Fira berusaha untuk tetap berada di posisinya, namun itu sia-sia, tenaganya tidak cukup besar untuk menahan tarikan seseorang itu. Meski berteriak, tidak ada yang membantunya. Orang itu justru menarik lengannya dengan kasar dan cepat. Tubuhnya bahkan terseok demi menyeimbangkan langkah orang itu yang sangat lebar.
Orang itu adalah seorang laki-laki yang Fira tidak kenali siapa. Namun, dari aromanya, ia mulai curiga. Sepertinya, asumsinya akan benar tentang lelaki itu.
Keluar dari gerbang dan menepi di dekat pohon mangga yang lebat, lelaki itu berbalik. Masih mencengkeram lengan Fira karena gadis itu memberontak.
"Diem!"
Fira berdecih karena asumsinya benar. Ia terus berusaha untuk menjauhkan tangan yang sangat ia benci itu dari tangannya. Tidak. Ia tidak sudi lagi tangan yang dulu selalu menggenggam tangannya itu, kini malah mencengkeramnya dengan begitu kuat. Cukup dulu saja, dan jangan lagi.
Melihat berontakan dari Fira, lelaki yang tidak lain adalah mantan pacar gadis itu justru mengguncang cengkeraman tangannya pada Fira. "Diem dulu, Safira!" bentaknya sekali lagi.
Fira mendongak dan menatap benci pada Dion. "Singkirkan tangan kotor kakak itu dari tangan aku!" ucapnya dengan tegas. Sorot matanya menyampaikan kalau ia marah, benci dan kecewa. Ya, kecewa akan kejadian masa lalu yang masih sulit untuk ia tepis kenyataannya.
Jika menatap bola mata hitam gelam milik Dion, Fira akan terjun ke dalam jurang masa lalu. Terbentur pada dinding yang berteriak padanya kalau apa yang Dion lakukan untuknya dulu hanya kepura-puraan. Menyelami rasa sakit yang untuk pertama kalinya ia rasakan dulu, kini bisa datang lagi dengan begitu mudah.
Satu detik ... dua ... tiga ....
Fira tidak bisa. Ia belum bisa untuk tidak menangis jika mengingat semuanya. Ia dengan cepat mengalihkan tatapannya saat dirasa kedua matanya mulai berembun. Sial! Mau sampai kapan terus begini?
"Kalau kamu nggak berontak, aku nggak akan kayak gini, Ra!" ungkap Dion tidak mau kalah.
Ya, jika Aras selalu kalah kalau berbicara dengan Fira, maka di sinilah Fira akan mendapatkan kekalahan.
Bersama Dion, Fira akan selalu kalah dalam menyuarakan sesuatu. Dion egois, keras kepala dan Fira membenci itu. Bahkan, rasanya untuk melawan Dion saja, Fira tidak bisa.
Tapi, untuk sekarang, Fira tidak mau kalah lagi. Cukup sudah. Cukup dulu saja, sekarang tidak lagi.
"Aku berontak karena apa? Karena kamu! Karena kamu sendiri yang ngebuat aku berontak kayak gini, Kak Dion!" papar gadis itu dengan tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Aras! (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaKata sebagian orang, sebuah usia adalah patokan yang menjadi penghalang untuk siapapun dalam menjalani suatu hubungan. Tapi, tidak untuk Aras dan Fira. Fira usianya dua tahun di atas Aras. Namun, ia menyukai lelaki itu. Naasnya, Aras cukup pendiam d...