"Ra?"
"Apa lu jamet?"
"Ngomong apa tadi?"
Fira tertawa. "Serius banget, sih, kamu! Santai aja kalau sama aku, tuh!" ucapnya.
Aras terdiam. Fira tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sejak dari cafe tadi, mereka tidak langsung pulang, melainkan mampir ke lapangan basket seperti biasanya.
Fira tidak menangis. Embun di mata gadis itu kering tersapu angin ketika ada di perjalanan. Bersikap biasa saja juga pada Aras. Menganggap seolah kejadian di cafe tadi bukanlah hal yang penting.
Aras kebingungan. Sungguh. Dirinya tidak munafik jika penasaran dan sedikit khawatir pada Fira. Pasalnya, tadi saat di cafe Fira benar-benar berbeda. Hal itu nyaris membuat dirinya tidak mengenali gadis itu karena berbeda sekali.
Hal apalagi yang belum Aras tahu tentang Fira? Banyak. Banyak sekali. Karena selama ini, Aras selalu menutup mata tentang apapun yang Fira lakukan. Tentang apapun yang berusaha Fira tunjukkan padanya.
Jadi, kalau misalkan Aras membuka matanya untuk Fira ... apa itu menjadi sebuah kesalahan?
"Gak cengeng?"
Fira menoleh. "Cengeng? Aku?" tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Aras mengangguk. "Tadi mantan lo, kan? Kenapa gak nangis waktu ketemu dia?" Semoga saja jiwa idiot Fira tidak muncul. Kalau iya, maka habis dirinya diledek.
Fira, gadis itu terdiam beberapa saat. Sebelum akhirnya menjawab, "Mantan, sih, tapi buat apa ditangisin? Dia, kan, bukan bawang."
Aras menganga. Fira terbahak melihat wajah lelaki itu. "LALET AWAS MASUK!"
Aras buru-buru menetralkan wajahnya. "Garing!" Ia beranjak dan mengambil bola basket yang ada di dekatnya tadi. Memantulkannya ke lapangan. Berjalan mendekati ring.
"Kalau gak cengeng, tanding sama gue," kata Aras sambil bergaya songong pada Fira. Sekali-kali. Ah, tidak. Bahkan ia sudah biasa bergaya songong pada Fira.
"Kalau aku menang, dikasih hadiah apa?" Fira mengingat rambutnya menjadi lebih rapih. Ia mendekati Aras. "Jangan kamu kira, aku takut, ya, sama kamu. Jangan mentang-mentang kamu jago basket, terus aku gak berani tanding sama kamu!"
Aras menarik sudut bibirnya. "Yang kerja itu tangan sama kaki, bukan mulut!" ujarnya dengan sinis.
"Mulutnya terong dicabein ya gini nih!"
"Suit, gak?" tanya Aras tidak mau menanggapi perkataan gadis itu sebelumnya. Fira sudah berdiri di hadapannya.
"Gak usah!" Fira langsung merebut bola itu dan memasukannya ke ring. Melompat kecil. Bahkan bola itu tidak sampai ke ring. Aras langsung terkekeh, meremehkan.
"Doa dulu, Kurcaci!"
Fira menunggingkan pantatnya. "Nih! Ngomong sama pantat!" Gadis itu lalu mengambil bola yang menggelinding ke tepi lapangan. Aras melotot kecil. Sialan!
Itu pantat minta ditendang! Eh, bukan! Fira yang minta ditendang, bukan pantatnya!
Aras meminta bola itu dan memantulkannya. Fira di hadapannya bergaya seperti orang yang benar-benar tanding basket. Wajahnya juga serius sekali. Sungguh. Aras ingin tertawa.
"Yakin mau tanding? Kalau kalah, gimana?"
Fira mengibaskan tangannya ke udara. Masih berusaha untuk merebut bola dari tangan Aras. "Kalau kamu kalah, kamu tepatin janji yang waktu itu. Dan kalau aku menang, aku minta janji itu ditepati. Oke banget, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Aras! (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaKata sebagian orang, sebuah usia adalah patokan yang menjadi penghalang untuk siapapun dalam menjalani suatu hubungan. Tapi, tidak untuk Aras dan Fira. Fira usianya dua tahun di atas Aras. Namun, ia menyukai lelaki itu. Naasnya, Aras cukup pendiam d...