Aras tidak pernah menemukan atau bahkan sampai mengenal seorang gadis seperti Fira. Menurutnya, dua kali pertemuan mereka, ia dapat menyimpulkan jika Fira memang gadis yang hiperaktif. Seolah jika Fira tidak mengoceh dan banyak tingkah, gadis itu akan merasakan lemas.
Aras tidak merasa risih akan kehadiran Fira, hanya saja ia merasa kurang nyaman dan heran. Kenapa gadis seperti Fira harus dipertemukan dengannya yang kurang ekspresif?
Iya, ia akui jika dirinya memang kurang pandai dalam berekspresi. Hanya tertawa dan bercanda jika sudah benar-benar merasa nyaman dengan orang lain. Jadi, jika ia tidak banyak bicara, maka karena dirinya merasa kurang nyaman dengan orang itu.
Pun dengan Fira, Aras merasakan hal demikian. Namun, entah kenapa, saat melihat senyum gadis itu yang menyiratkan kesenangan, sudut hatinya yang paling kecil merasa tersentil. Seperti merasakan sesuatu yang berbeda di dalam sana.
"Aras, bagiin ini ke tetangga. Dari angka 101 sampai 109. Cepetan!" titah sang Mama pada Aras yang sedang bermain ponsel di ruang tengah. Televisi menyala, namun tidak dilihat oleh Aras.
Aras menoleh dan menatap beberapa paperbag yang mamanya bawa. Apa katanya tadi? Membagikan bingkisan itu ke tetangga dari nomor 101 sampai 109? Itu artinya ... ia harus ke rumah nomor 103? Ke rumah Fira? Yang benar saja!
"Sama mama? Berdua?"
"Nggak, mama masih sibuk di dapur, bentar lagi papa kamu dateng. Udah sana! Inget, kalau sama orang baru, harus pakai 3S!" Mamanya memberikan 9 paperbag itu padanya. Aras hanya bisa menghela napas.
"Apa itu 3S?" pancing Mama Aras pada sang anak.
Aras memutar bola mata sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Bangkit berdiri dan mengambil alih paperbag itu. "Senyum, salam, sapa," sahutnya.
Mama menepuk pelan bahu Aras. "Pinter! Ajak adik kamu sekalian, oke?" Wanita itu kemudian memanggil adik Aras. "Zara! Ikut sama abang, nih! Jalan-jalan!"
Lagi, Aras hanya bisa menghela napas. Mau menolak juga tidak tega karena melihat sang mama yang sibuk mengurus rumah sejak pagi.
Ketika adiknya muncul, Aras langsung pamit dan berjalan bersama sang adik. Usia Zara 3 tahun. Yah ... mau bagaimana lagi, ketika Aras lulus Sekolah Dasar, Zara lahir setelahnya.
Zara membawa boneka jerapah kecil didekapannya. Gadis kecil itu menggenggam sebelah tangan Aras yang tidak membawa paperbag. Ia mendongak untuk melihat wajah abangnya.
"Bang, ke mana dulhu?" Namanya anak kecil, bicarapun masih suka tidak jelas. Zara juga seperti itu.
Aras menunduk sebentar. "Dari rumah ini, terus lurus ke sana, sampai ujung," jelasnya.
Mereka ke rumah nomor 109, lalu dilanjutkan terus hingga ke 101. Selama itu pula, Aras selalu berusaha terlihat sopan. Hanya menarik senyum tipis. Yang penting kan, senyum.
Tiba di nomor 103, Aras menarik napasnya dalam. Lalu menekan bel yang ada di dekat gerbang, tepat di bawah nomor rumah. Tidak lama kemudian, gerbang terbuka. Menampilkan Fira yang memakai celana selutut dan kaus biru langit. Menjepit rambutnya juga.
Kali ini, untuk pertemuan ketiga mereka, Aras mengakui jika Fira memang seperti anak kecil. Seperti anak SMP.
"Ini--"
"Ya ampun, Aras, ini siapa? Lucu banget! Aaaa, kamu siapa namanya?"
Dengan senang Fira menggendong Zara. Aras terkejut, begitu juga Zara yang hampir menangis karena digendong oleh orang asing. Aras bahkan belum selesai berbicara, tapi Fira dengan seenak jidat memotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thank You, Aras! (SUDAH TERBIT)
Fiksi RemajaKata sebagian orang, sebuah usia adalah patokan yang menjadi penghalang untuk siapapun dalam menjalani suatu hubungan. Tapi, tidak untuk Aras dan Fira. Fira usianya dua tahun di atas Aras. Namun, ia menyukai lelaki itu. Naasnya, Aras cukup pendiam d...