Rosé menoleh pada seseorang yang duduk di kursi sebelahnya "Kenapa kau sendirian di sini? Appa dan eomma dimana?"
"Lisa~ya apa kau manusia?"
Gadis berponi itu terkekeh "Apa wajah ku terlalu pucat sampai kau fikir aku hantu?"
"Aniyeo, kau tahu? Kau terlalu sempurna untuk di sebut sebagai manusia. Hati mu terlalu baik, kau seolah tak punya rasa keinginan untuk memiliki dalam diri mu"
"Aku hanya manusia biasa Rosé, sama seperti mu. Aku egois, aku ingin memiliki semuanya. Tapi di satu sini, tuhan selalu menyadarkan ku bahwa apa yang ku miliki bukanlah selamanya"
Lisa mengembangkan senyumnya dengan manis saat Rosé menoleh ke arahnya.
"Ginjal ini, kenapa kau memberikannya pada ku dulu?""Aku muak melihat mereka menangisi mu. Aku lelah menanti mu yang tak kunjung membuka mata kala itu. Jadi aku melakukannya"
Senyum lirih itu terbentuk di bibir pucat Lisa mengingat besar semangatnya untuk memberikan ginjal itu pada Rosé, yang ia inginkan hanya satu. Keluarganya menoleh padanya, cukup.
"Maaf Lisa, kau terlalu banyak berkorban karena aku" gadis berpipi chubby itu mulai menangis.
"Hey..." tangan Lisa meraih Rosé dan menariknya lebih dekat padanya.
"Berhenti menangis, aku tak suka melihat orang yang ku sayangi menangis" tangan kurusnya bergerak menghapus jejak air mata di pipi kembarannya itu.
"Aku fikir dengan mendonorkannya pada mu itu jauh lebih bermanfaat bukan?"
Rosé menggeleng "Tapi nyawa mu terancam Lisa. Bagaimana jika saat transplantasi berlangsung ada komplikasi yang terjadi—"
"Dua tahun, itu sudah berlalu. Tak perlu membicarakan sesuatu yang tak pernah terjadi"
Lisa menepuk bahunya pelan membiarkan Rosé untuk meletakkan kepalanya pada bahu kurusnya "Aku sangat menyayangi kalian tahu, sangat. Jika kebahagiaan mereka itu kau, aku bahkan dengan senang hati memberikan jantung ku pada mu"
Mata Rosé membulat. Gadis itu segera bangkit dari bahu Lisa dan menatap adiknya itu tajam "Tak akan pernah sudi aku menerimanya, lebih baik aku mati dari pada harus menerima jantung mu"
"Sungguh? Kau tak mau bahagia dengan jantung yang sehat bersama mereka?"
Rosé terdiam sejenak "Tidak! Tak akan pernah"
"Jungkook juga mungkin akan menjadi kekasih mu. Karena aku sudah mati jadi—"
"Diam! Bicara mu semakin melantur, aku tak mau berbicara dengan mu" putri ketiga Cheon Soo Hyun itu membalik tubuhnya membelakangi Lisa.
"Arraseo, mian..."
"Aku juga menyayangi mu Lisa. Bayangkan bagaimana perasaan ku jika saat aku bangun ada jantung mu di tubuh ku? Berdetak dan terus membuat ku hidup tapi kau justru pergi meninggalkan ku"
Lisa menghela nafasnya kasar. Gadis itu merasa bersalah telah membuat Rosé kembali menangis dan bersedih.
"Mainhae, Chaeyoung~ah...."
"Cukup pengorbanan mu Lisa, aku sudah tidak bisa menerima—"
Rosé terdiam saat sepasang tangan adiknya itu melingkar mendekapnya hangat dari belakang "Geurae, aku tak akan melakukannya"
•
•
•
•
Bungsu Cheon itu tersenyum menyambut Jisoo yang datang "Kau juga sendiri?"
"Sejak tadi aku sendiri" jawab Lisa yang terus menatap Jisoo.
"Eomma dan appa tak ada di ruangan Rosé. Bahkan Jennie pun entah kemana. Bagaimana dengan Jungkook? Bukankah tadi kalian bersama?"
"Aniyeo aku menyurunya pergi tadi. Tak lama Seokjin oppa datang lalu aku mengikuti beberapa tes dan pemeriksaan. Setelah selesai aku di taman bersama Rosé"
Jisoo mengangguk pelan lalu meraih piring bubur milik Lisa "Kau belum makan, kan? Aku suapi, ya?"
"Bukankah Rosé sendiri? Kenapa eonni—"
"Appa dan eomma pasti akan menemaninya. Jadi biar aku yang menemani mu" tangan Jisoo terangkat menyodorkan sesuap bubur pada Lisa.
Gadis berponi itu terdiam sejenak sebelum meraih suapan Jisoo dengan senyum "Kenapa kau sangat ingin pulang tadi?"
"Senin besok aku seharusnya mulai kembali masuk kuliah. Sudah hampir 1 bulan aku tak masuk eonni"
"Kau tak akan di keluarkan Lisa, itu kampus milik appa—"
"Aku tahu itu. Tapi semakin lama aku tidak masuk, semakin banyak pelajaran yang ku tinggalkan"
"Kau kan pintar, mudah bagi mu mengerti hanya dengan membacanya dalam beberapa hari"
Putri sulung Cheon Soo Hyun itu terus menjawab keluhan adiknya dengan sabar, tangannya dengan perlahan menyuapi Lisa dengan semangkuk bubur di tangannya.
"Tetap saja belajar tatap muka itu jauh lebih menyenangkan dan mudah di mengerti"
Jisoo mengulas senyum manisnya mendapati wajah lesuh Lisa "Ku dengar kau masuk jurusan kedokteran. Memangnya ingin jadi dokter apa?"
"Aku ingin jadi psikiater"
Jisoo mendongak menatap Lisa dengan banyak pertanyaan "Wae? Bukankah banyak dokter yang jauh lebih menyenangkan dari pada menjadi psikiater"
"Aku hanya ingin membantu banyak anak dan remaja dengan latar belakang seperti ku. Aku ingin menyemangati mereka untuk melanjutkan hidupnya dalam hal kebenaran"
Lisa menoleh pada Jisoo dengan senyuman
"Di jaman sekarang lebih banyak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas atau bahkan gelapnya malam. Aku hanya ingin membantu mereka untuk keluar dan tak masuk ke dalam sana"Hening sesaat setelah Lisa menyelesaikan kalimatnya. Kakak sulungnya itu sama sekali tak memberikan respon sedikit pun.
"Aigoo, adik eonni sangat dewasa dan pintar" tangan kakaknya itu bergerak mengusap surai blonde Lisa dengan sayang.
"Apa aku tumbuh seperti harapan, eonni?"
Jisoo mengangguk dengan tegas "Eoh. Kau tumbuh menjadi adik ku yang paling kuat dan tegar. Kau berhasil membuat ku bangga pada mu dan malu pada diri ku sendiri"
"Mwoya, eonni adalah orang paling tegar yang pernah ku temui"
Tetes air mata itu jatuh membasahi pipi Jisoo "Mianhae Lisa~ya, aku terlalu bodoh karena pernah mengabaikan mu. Aku bahkan mencoba membunuh mu dua kali"
"Gwenchana, jika dokter Choi tidak bisa menyembuhkan mu. Maka aku yang akan menyembuhkan eonni ku"
Look At Me
Jakarta, 19 September 2020Note :
Wah pada salah nyerna kalimat si bapa Cheon ini. Yang bilang "Tapi bukan masalah serius " bukan dia gaes tapi Seokjin. Coba baca lagi dah kalimatnya pelan2 jangan pake emosi.
Lucu bet dah liat kalian marah2. Udah mana salah ngerti ngegas lagi😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Look At Me ✔
FanfictionJalan takdir itu tidak pernah bisa di tebak. Ada kalanya dimana roda kehidupan berputar, membalik sesuatu yang semula hanya bayangan menjadi sebuah penyesalan.