Ponsel bergetar dari balik saku celananya. Changbin yang tengah mondar-mandir berhenti sejenak untuk menjawab panggilan yang sudah ia tunggu-tunggu itu. "Felix! Kau lama sekali, Hyunjin, Han, dan Chan hyung sudah menunggumu," Changbin tidak bisa menahan rasa kesalnya, nadanya meninggi.
Sudah tiga jam, dan Felix belum juga kembali dari supermarket. Mereka akan membuat kue bersama seperti yang Felix janjikan—namun yang mengundang malah kehabisan stok bahan baku, lalu memutuskan pergi berbelanja.
Hening sesaat.
"Apakah selama itu?" suara rendah Felix itu sedikit lebih tinggi, Changbin tampak tidak peduli.
Mengusap wajahnya gusar, Changbin kembali melanjutkan pembicaraannya lewat telepon. "Oke, lupakan. Sekarang kau ada di mana?"
Hening selama tiga detik, Changbin bosan menunggu.
Helaan napas pelan terdengar dari balik telepon; bulu kuduk Changbin berdiri. "Aku... sedang mengantri. Antrian yang panjang haha," bunyi gemerisik menjadi latar suara panggilan telepon tersebut. Sinyalnya memburuk.
Changbin menjauhkan telinga dari ponselnya. Untuk satu dua hal, Felix terdengar berbeda. Suaranya, gaya bicaranya—bahkan tarikan napasnya juga.
Positif thinking Changbin,
Positif thinking.
Supermarket memang selalu ramai di malam hari, terlebih antrian loket pembayaran di akhir pekan. Sekarang sabtu malam, pukul sebelas.
"Sepanjang apa antrean itu hah?!" walaupun cemas, Changbin tetap kesal. Perasaannya campur aduk, dan entah mengapa itu membuatnya ingin marah-marah.
Hening lagi sesaat, gemerisik telepon terasa sangat mengganggu telinga.
Hembusan napas berat terdengar lagi di awal kalimat, "Hmm... Tiga kepala. Ya, tiga kepala."
Changbin terdiam, mencerna.
"Tiga orang? Katakan yang jelas!" saking gelisahnya Changbin sampai berteriak. Chan yang tengah menonton televisi berjengit terkejut, ia menoleh memperhatikan Changbin. Hyunjin dan Han sedang berkelahi di kamar—tenang, itu hanya karena masalah sepele.
Gemerisik telepon semakin gaduh, sinyal telepon semakin menghilang. "Banyak, sangat banyak. Tiga kepala," kekehan kecil terdengar di akhir telepon. Tawa yang tidak menyenangkan.
Kaki Changbin gemetar tanpa sebab, tangannya lemas, namun emosinya malah semakin naik ke ujung kepala, pria berambut cokelat itu memekik tertahan. "Cepat katakan yang jelas!"
Chan yang entah sejak kapan berdiri di belakang Changbin menepuk-nepuk bahunya menenangkan.
Hening...
Latar belakang panggilan itu semakin gaduh dengan gemerisik yang membuat risih. "Hanya ada tiga kepala lagi, namun badan tanpa kepala itu ada banyak... salah satu kepalanya ada di tanganku, berambut abu-abu sedikit keunguan."
Changbin melotot, keringatnya bercucuran. Chan sesekali bertanya namun tak digubris.
Deritan besi terdengar bercampur dengan gemerisik telepon, "Felix yang malang... apakah kau mau mengantri juga? Aku akan menjemputmu."
Tut... tut... tut...
Panggilan terputus.
Changbin jatuh bersimpuh, jiwanya seakan ditarik keluar. Chan dengan panik menangkap bahu Changbin yang terkulai lemas, "Ada apa? Cepat katakan," ujarnya panik, tangannya bergetar.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, tiga ketukan lembut lebih dulu terdengar dari balik daun pintu utama rumahnya.