Pearson Street
Brainsdale, Victoria 3875
Australia.Febuari, 1:07 PM
Bau aspal terbakar matahari menyengat menyeruak ke udara. Domba putih langit absen berlarian kali ini—angin hampir tidak berhembus sama sekali—hanya hamparan biru menyapu mata yang mendongak ke atas.
Lilyana yang umurnya sudah separuh abad bertumpu tangan pada kusen pintu kayu dengan air muka bingung. Chris nyengir, buntalan pakaian ada di dekapannya, pakaian milik Lilyana yang baru saja dijemurnya dua jam yang lalu.
Wanita itu tengah menonton telenovela klasik ketika ketukan terdengar dari pintu rumahnya yang dominan berwarna cokelat tua—sebenarnya rumah itu memiliki bel.
Hawa panas menerpa wajahnya ketika pintu ditarik terbuka. Matanya menyipit, menyesuaikan cahaya.
Chris menjaga cengirannya tetap mengembang, sedangkan wanita gempal bersurai hitam panjang yang mulai memutih itu tetap terdiam untuk beberapa hal: buntalan yang didekap Chris, fakta tentang buntalan itu adalah pakaian miliknya, juga penampilan Chris.
Kemeja putih lengan panjang—yang dilipatnya hingga sikut karena cuaca terik terus memaksanya terlipat—dengan kedua kancing bundar teratas menggantung bebas tanpa kaitan, dada putihnya yang basah oleh keringat mengintip dari sana. Celana hitam panjang. Rambut hitam legam kontras dengan kulitnya yang putih pucat, hidung mancung yang besar, bibir merah muda sensual, sepasang mata yang di kedua sudutnya sedikit melengkung ke bawah—atau bahkan menghilang menjadi sebuah garis ketika ia tersenyum (berdarah campuran Korea Australia, membuat wajahnya terlihat tegas sekaligus manis). Juga dimple di pipi kirinya.
Sepasang anting bulat.
Gelang rantai keperakan di pergelangan tangan kiri.
Dan cincin besi di satu jari kelingkingnya.
Lilyana dalam keadaan sepenuhnya sadar ketika dirinya yang sudah tidak lagi muda memuji penampilan Chris dalam hati, tampan. Jika umurnya sekarang separuh lebih muda dari umur yang ia injak saat ini, wanita itu pasti sudah berjuang mendapatkan kencan dari Chris.
Sayangnya ia sudah terlalu tua, dan mempunyai suami, juga tiga anak, dan empat orang cucu.
"Hujan akan turun," kata Chris. Pria itu berujar sebelum wanita paruh baya dengan gaun hitam longgar bermotif bunga mawar putih menyuarakan kebingungannya. Lilyana menebar pandang keluar teras, menghamparkannya pada langit tanpa awan diatas genting rumah.
Cerah—sangat cerah.
Kerutan di dahinya bertambah ketika Chris menyerahkan buntalan itu ke pelukannya; aroma kain terpanggang matahari menyerang Indra penciuman Lilyana, sedangkan indra yang lain merasakan hangat dan di beberapa sisi terasa lembab-pakaian separuh kering yang Chris angkat tanpa persetujuan.
"Bukankah hari ini cerah, Chris?" tanyanya, wanita paruh baya itu membenarkan posisi pelukannya pada buntalan.
Keduanya saling kenal, mereka bertetangga.
Chris membenarkan dalam hati, merutuki diri, namun lalu mengangguk mengiyakan. Ia tersenyum tipis. Entah sudah yang ke berapa kali Chris melakukannya siang ini.
Enam puluh lima? Tujuh puluh?
Entahlah-menghitung tiap pintu rumah yang diketuknya membuat rasa lelahnya berlipat ganda.
"Umm... begini, sebelumnya maafkan kelancanganku telah mengangkat jemuran itu tanpa izin," Chris berhenti sejenak, menjilat bibir bawahnya agar tetap lembab dan melihat respon Lilyana yang mengangguk sebagai tanda jika dirinya tidak masalah oleh hal yang dikatakan Chris barusan. "... akan ada badai hari ini, aku dan tim-ku sudah menyiapkan tempat pengungsian sementara yang nyaman. Kautahu, kami punya banyak cemilan dan pemanas ruangan yang sangat memadai."
KAMU SEDANG MEMBACA
Logika Buntu!
Fiksi PenggemarBisakah kau menebak alur ceritanya? Oneshoot, random.