Pandangan Sudut Ruang (CRP)

118 48 16
                                    

Hyunjin menendang ujung meja namun lalu mengaduh kesakitan, meringis dan bersumpah serapah. Menjatuhkan tubuhnya di atas sofa, lelaki jangkung itu mengacak-acak rambut hitamnya frustasi. Ia mengerang pelan. 

"Berengsek," desisnya.

Di sudut ruangan, Jeongin menatap figur—yang kini mondar-mandir di depan sofa—tanpa berkedip. Manik matanya yang terbuka menatap kosong. 

Diam di sudut ruangan tanpa suara. 

Bulir keringat membasahi tubuh Hyunjin, manik matanya bergulir ke kanan dan kiri cemas, air mukanya panik, bibir bawahnya tergigit tanpa sadar. Satu menit terbuang, kakinya berhenti bergerak tak tentu arah, sekilas, matanya melirik ke sudut ruangan, hanya sebentar sebelum ia memusatkan fokus pada layar ponselnya dengan tangan sedikit gemetar. 

"Aku butuh bantuanmu," ketus Hyunjin pada seseorang di balik telepon. Nadanya yang dingin kontras dengan gemetar hebat di tangannya. 

Hyunjin mengambil segelas air dengan kasar, menenggaknya terburu-buru dengan ponsel masih menempel di telinga kirinya. Jawaban dari lawan bicaranya membuat Hyunjin semakin menegang, matanya membulat, pupilnya mengecil. Namun ia membalut kepanikannya dengan tenang.

Jeongin masih menatap Hyunjin dengan pandangan kosong. 

PRANG! 

Gelas kaca itu terpelanting ke lantai, hancur berserakan menebar bahaya untuk kaki tanpa alas. "Cepat. Katakan apa maumu?" Hyunjin menekan setiap kata di kalimatnya setelah dengan sengaja mengeliminasi gelas tersebut dari atas meja—ia menepisnya kencang. 

Seseorang dari balik telepon menjawab. Suaranya senang, riang, dan di beberapa kesempatan terdengar mengejek membuat Hyunjin mendecih. 

"Baiklah Minho, jika itu maumu sialan. Aku akan menurutinya..." rahang Hyunjin mengeras, giginya bergemeletuk menahan amarah. Lelaki itu melirik sudut ruangan dengan ujung matanya, lalu memejamkan mata. "Sebagai gantinya, urus penerbanganku hari ini keluar negeri. Ke mana saja, jika bisa yang jauh, jauh sekali. Dan carikan aku psikolog atau psikiater profesional atau apapun itu aku tidak peduli, untuk melayaniku secara pribadi di sana," ia menjilat bibirnya, lalu untuk kesekian kalinya menoleh ke sudut ruangan. 

"Untuk kali ini, tolong, lindungi aku," sambungnya. 

Minho terkekeh di ujung telepon, "Tentu saja, buronan."

Telepon terputus. 

Hyunjin menjambak rambutnya frustasi, teriakan paraunya memilukan hati, ia bersimpuh di lantai yang penuh noda merah. Jantungnya berdebar-debar tanpa aturan—membuat rongga dadanya terasa sesak. Ia menangis, namun tidak untuk waktu yang lama. 

Hyunjin kini menyeringai. 

Ia bangkit, air mukanya berubah dingin. Mengantongi ponselnya yang berbau amis, ia menatap sinis sudut ruangannya. Ia melangkah perlahan, mengabaikan pecahan kaca yang melukai hingga tembus ke telapak kakinya. Darah merembes ke lantai. 

Lelaki itu menjambak rambut Jeongin, "Aku tidak tahu jika aku segila ini, dan aku tidak tahu jika kau sebodoh itu."

Jeongin masih tidak berkedip. 

Mendecih, Hyunjin mengangkat kepala itu tinggi-tinggi, membawanya ke depan lemari, lalu memasukan kepala Jeongin bersama anggota tubuhnya yang lain—yang terdiri dari beberapa bagian terpisah. 

"Minho sialan itu benar, aku buronan," kata Hyunjin pelan seraya mengunci pintu rumahnya dan berlalu pergi. Pergi sejauh yang ia bisa. 










Logika Buntu! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang