Semua masih jauh dari kata modern, saat Seungmin membawa sekarung garam ke pintu masuk pasar pertukaran. Bahunya yang memikul beban mulai berdenyut, keram, ia jelas kelelahan. Ototnya berteriak nyeri tidak karuan walau Seungmin enggan menghiraukan. Senja malu-malu mencorat-coret langit dengan jingga bercampur kekuningan.Lelaki itu perantau, mencoba peruntungan di wilayah orang.
"Sini Tuan, biar kubantu," tawar pria berbau tubuh menyengat dalam balutan pakaian lusuh, Seungmin yang sedari tadi menarik napas pendek tahu betul jika itu bau keringat—masam, dan tidak menyenangkan untuk dihirup sepasang lubang di wajahnya.
Mengangguk kecil dengan senyum tipis, lelaki berambut hitam itu menyerahkan beban berat di bahunya ke tangan kekar pria yang beberapa detik sebelumnya menawarkan bantuan dengan nada ramah. Otot lengannya besar, kepalanya botak mengkilap, walaupun tinggi badannya tidak seberapa.
"Terimakasih," Seungmin setengah membungkuk kepada orang yang kini memanggul karung miliknya di bahu kiri, karung itu nampak seringan bantal kapuk di tangan si pria botak. "Tidak masalah. Garam?" balasnya singkat.
Riuh penawaran di tengah pasar yang ramai dan minim oksigen membuat Seungmin kecolongan setengah pikirannya. Ia berdeham pelan, menelan ludah ragu, "Maaf, aku tidak mendengarmu. Bisakah kau ulangi pertanyaanmu itu?" Seungmin yang berjalan pelan mengekor di belakang.
Mereka berbelok ke arah gubuk kecil di penghujung pasar, "Garam. Kau membawa garam, bukan?" ulang si pria botak yang direspon anggukan mengiyakan dari si pemilik karung. Ia kini menidurkan karung itu di lantai. Mereka sampai di gubuk tersebut.
"Di mana ini? Dan, kalau boleh tahu, siapa namamu?" dua buah pertanyaan lepas landas dari mulut Seungmin kala pandangannya bertemu dengan tumpukan karung garam berwarna biru. Itu jelas bukan tempat yang ingin ditujunya.
"Aku George, dan ini tempat pertukaran garam. Bukan sebuah kebetulan, tapi aku memang bekerja di sini, dan dengan sengaja menggiringmu ke sini. Jadi, kau boleh mulai memilih garam, Tuan."
Mengernyit, sepasang alis Seungmin bertaut membendung kerut di dahinya. "Apa maksudmu? Aku ingin menukar garam ini dengan sekarung gandum juga beberapa telur, bukan garam. Untuk apa aku menukar garamku dengan garammu? Itu tidak akan menimbulkan perbedaan." Seungmin bersungut-sungut, George berkacak pinggang dengan satu alis terangkat.
"Kau, baru pertama kali ke pasar ini bukan?"
"Apa aku harus menjawab pertanyaan retoris?" balas bertanya, Seungmin melipat tangan di dada.
George yang kulitnya sematang sawo dipenuhi keringat menghela napas pelan. "Di sini, di pasar ini, ah tidak, maksudku... di sekitar wilayah ini, semua hal diperlakukan secara adil dan sama rata dalam artian yang sesungguhnya. Jika kau membawa jagung untuk ditukar, maka kau akan mendapat jagung sebagai penukaran. Jika kau menghilangkan sebuah cincin emas dengan sengaja maupun tidak, maka kau juga harus mengganti cincin emas yang serupa. Jika kau mencuri tiga buah apel, maka kau pun harus mengembalikan tiga buah apel sebagai hukuman penghakiman. Di sekitar sini, kau hanya akan memperbaiki, mendapatkan, dan menambahkan hal yang sama, selamanya. Adil tanpa keadilan, sama tanpa perbedaan."
Seungmin mengangkat kembali karung yang tergolek di lantai ke atas bahu kirinya yang tidak berdenyut seperti bahu satunya, "Itu aneh dan bodoh. Apa keuntungan yang kudapat jika aku menukar garamku dengan garam milikmu?"
"Kau mendapat undian."
"Undian, apa maksudmu?"
Pria botak itu berjalan ke tumpukan garam, lalu menggunting karung garam pertama, "Semacam undian keberuntungan dan kesialan. Pertaruhan nasib. Jika kau beruntung, kau akan mendapat garam yang lebih bagus," George membuka lebar-lebar isi karung yang baru saja dibukanya ke arah Seungmin.