Ini sudah kaus kaki kelima yang kuganti karena robekan yang melintang di dekat mata kaki. Tidak terlalu panjang memang, tapi cukup terlihat mata. Aku tidak pernah jatuh belakangan ini, namun, setiap pulang di hari selasa, kaus kakiku selalu berlubang ataupun memiliki robek kecil.
Itu membuatku jengkel, dan jelas aku selalu dimarahi ibuku karena membuang-buang uang untuk membeli kaus kaki yang baru.
Aku bukan murid yang pintar, dan jelas sekali aku tergolong murid pemalas yang senang membuat onar seantero sekolah. Karena semua hal itu, aku memilih duduk di barisan belakang, di pojok kanan di depan lemari buku.
Tempat itu sangat strategis untuk memejamkan mata.
Dan aku selalu tertidur di penghujung kelas, lalu terbangun ketika bel pulang hampir berbunyi. Selalu begitu, setiap harinya.
Hari ini hari selasa, di mana jadwal pulang lebih ngaret dari hari lainnya. Senin, rabu, kamis, dan jumat bel pulangnya berbunyi pukul tiga sore, sedangkan hari selasa pukul setengah lima sore-itu karena ada tambahan kelas yang sebenarnya tidak kupedulikan.
Sialnya, aku tertidur hingga seisi penghuni kelas sudah lenyap dari pandangan. Han sialan, teman sebangku-ku itu sepertinya sengaja tidak membangunkanku.
Hari mulai gelap, pukul lima sore.
Sambil mendengus, aku merapikan peralatan sekolah di atas meja untuk dimasukkan ke dalam ransel merah hitam kesayanganku.
Aku yang masih duduk di atas kursi diam sejenak saat merasakan sesuatu yang runcing menyentuh tumitku yang terbalut kaus kaki. Menyentak kedua kakiku, aku menduga jika itu hanyalah nyamuk iseng yang sibuk mencari darah. Hari sudah sore, kurasa wajar jika nyamuk mulai berkeliaran lagi.
"Aw!" aku mengaduh, sesuatu yang tajam sekarang terasa menggores pergelangan kakiku. Aku menunduk, dan tidak melihat apapun.
Namun,
Netraku menangkap kaus kaki yang baru saja kubeli kemarin sore, kembali robek.
Refleks, aku mengangkat kakiku, memastikan.
Aku berdecak sebal saat mengetahui kaus kakiku benar-benar berlubang. Akan tetapi, tiba-tiba saja bulu kudukku berdiri tanpa alasan, dan saat itu juga aku menjadi bertanya-tanya mengapa semua ini bisa terjadi?
Sebelumnya aku tidak begitu peduli, namun sekarang aku menjadi sangat penasaran. Dan menjadi sangat ingin tahu alasannya.
Menggeleng, aku berusaha menepis semua pertanyaan itu. Walaupun sekarang rasa penasaran itu seperti mencekikku, aku harus cepat pulang, hari sudah semakin sore. Aku lantas melanjutkan kembali aktivitas membereskan meja yang sempat tertunda, namun garukan di kaki kembali mengusikku.
Aku menunduk, dan tidak menemukan apapun, lagi.
Keringat dingin mulai bercucuran di tubuhku, dadaku berdebar tanpa alasan, tanganku banjir oleh keringat.
Menyampirkan ransel di bahu kanan, aku sudah sangat siap untuk berjalan pulang. Namun, lagi-lagi, pertanyaan tentang kaus kaki robek itu kembali mengusikku.
Dan kini, lemari kayu dua pintu dengan tinggi dua meter yang berdiri tepat di belakang kursi tempatku duduk sangat menarik perhatianku.
Aku berjongkok, menatap kolong lemari yang gelap.
Hawa dingin menyapu leherku, aku bergidik.
Jika bukan karena rasa penasaranku yang memuncak, mungkin aku sudah berlari keluar alih-alih berjongkok di depan kolong lemari dengan tangan menggengam ponsel yang senternya kunyalakan. Jantungku berdegup cepat, sekarang aku mulai merasa takut.
Rasa penasaranku yang tidak bisa ku ajak kompromi menang, dan sekarang membuatku menunduk tepat di bawah kolong lemari. Dengan tangan gemetar aku mengarahkan cahaya senter ke arah sana.
Sepasang manik merah menyala memantulkan cahaya dari senter ponselku. Badannya sangat kurus, hingga tampak seperti tulang terbalut kulit yang coklat kehitaman. Rahangnya yang sangat lebar menyeringai mengerikan, itu bahkan lebih panjang dari penggaris besi tiga puluh centimeter milikku. Dan lidahnya yang panjang dan basah—ew!—menjulur keluar seperti ular. Tubuhnya terlipat, entah bagaimana caranya agar muat di sela kolong lemari. Semua itu membuatku mual, dan berjengit takut.
Aku diam mematung untuk waktu yang sangat singkat, sebelum akhirnya tersadar dan berlari sekencang yang aku bisa dengan sangat ketakutan.
Sesampainya di rumah aku mengalami demam hebat, dan besoknya aku bertukar tempat duduk di barisan paling depan.
Aku tidak mau duduk di tempat itu lagi, sampai kapanpun tidak akan. Aku tidak ingin jemari kurus dengan kuku runcing yang sangat panjang itu merobek kaus kakiku lagi, ataupun menggaruk kakiku lagi.
Selamanya.