Chris adalah pelukis yang sangat mahir memadukan warna. Ia dahulunya orang yang sangat sensitif terhadap warna-warni yang disapukan di atas kanvas. Pria itu selalu kesal jika melihat perpaduan warna yang tidak sesuai keinginannya. Chris bahkan seringkali memarahi diri sendiri jika tangannya yang memadu warna bekerja tidak sesuai dengan otaknya.
Tidak hanya itu, saat masih segar, ia tidak segan menegur bahkan memarahi anaknya sendiri yang baru berusia sembilan tahun, jika netranya menangkap warna yang tidak sesuai pada lukisan buatan darah dagingnya sendiri.
Masa penuh warna yang sangat menyenangkan.
Pada suatu hari, Chris dengan kulit keriputnya duduk di pekarangan rumah. Sekedar menikmati semilir angin membelai rambutnya yang beruban, juga mendengarkan suara-suara di luar rumah—walaupun pendengarannya mulai kalah dengan usia.
Ayen, cucu kesayangan Chris, duduk di samping kirinya. Umurnya tiga belas tahun, ia memandangi kanvas tertoreh cat minyak berbau menyengat dengan ragu. Lukisan itu tidak bisa dibilang bagus dengan paduan warna yang tidak sesuai. Ayen memang tidak berbakat melukis—walaupun ayah dan kakeknya seorang pelukis handal. "Apa menurut kakek, lukisanku bisa mendapatkan nilai bagus?" ujarnya lembut termakan angin.
Chris mengerutkan dahi, berusaha menangkap apa yang cucunya itu tanyakan. Ia menoleh ke arah kanan, "Aku yakin lukisanmu bagus, dan itu akan membuat gurumu terpukau," jawab Chris.
Seharusnya Ayen dimarahi, seperti ayahnya dulu, tetapi Chris malah diam saja. Kenapa?