Aku mempunyai teman lelaki jangkung dengan bibir bak tersengat lebah, maksudku, sahabatku. Yah, setidaknya, seperti itulah notabene yang kusematkan padanya. Dia sangat banyak berbicara dan senang melakukan gerakan-gerakan aneh dengan kedua tangannya, tubuhnya, juga kakinya. Seluruh tubuhnya senang bergerak lincah—hiperaktif.
Namun, sudah seminggu terakhir bahunya selalu terkulai lemas, lingkaran hitam membingkai kedua manik matanya yang menyorot aneh, ia tidak banyak berbicara seperti dulu. Sesekali matanya membulat, tubuhnya menegang, manik matanya menyorot takut bergulir ke sana kemari cemas. Kelenjar kulitnya memproduksi lebih banyak keringat dingin yang mengucur dari balik bajunya, juga wajahnya yang tampak kuyup.
Nafas sahabatku memburu setiap kali aku berjalan pelan.
Tidak jarang aku melihatnya menjambak rambutnya sendiri, atau memukul kencang bagian tubuhnya yang paling atas itu. Pemandangan seperti itu membuatku gelisah, sehingga aku refleks berjalan mondar-mandir tanpa sadar. Tetapi itu hanya membuatnya semakin meringkuk di atas kasur, jadi aku berhenti, dan mencoba melongok dari lubang pada langit-langit ruangan.
Sayangnya aku ceroboh, dan seringkali menjatuhkan sesuatu, entah itu tangan, kaki, dan yang sekarang jatuh adalah kepalaku sendiri. Hyunjin yang melihatnya berteriak histeris, menjerit sekuat tenggorokannya bisa bersuara, lalu jatuh tak sadarkan diri.
Tubuh tanpa kepalaku melompat ke bawah, mengambil kepalaku yang tergelinding ke kolong ranjang tempat tidur sahabat baikku itu, lalu memasangnya kembali di tubuhku.
Hyunjin yang malang.
Walaupun aku marah karena ia telah memutilasiku—dan meninggalkan mayatku di dalam lemari—dia tetaplah sahabat baikku. Dan aku ingin menegaskan satu hal jika,
Selamanya, dia tidak akan pernah sendirian.
Aku akan selalu menemaninya, di atas atap ruangan, ke mana pun ia akan pergi, di mana pun ia akan tinggal.
Aku akan selalu menemani.
