Semua orang selalu bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya Han harapkan dari palu kecil di balik tasnya. Mereka hanya bertanya dalam benak saja, tidak benar-benar menanyakan langsung kepada Han perihal itu.
Palu kayu itu bergagang pendek, hanya segenggaman tangan orang dewasa, juga kedua bagian kepalanya yang berbentuk lingkaran berdiameter tiga centimeter. Terbuat dari kayu, palu kecil itu berwarna coklat kenari. Ke mana pun Han pergi, palu itu selalu dibawa olehnya.
Changbin yang tidak tahan dengan hanya bertanya di dalam benak saja, bertanya langsung ke lelaki berpipi menggemaskan itu. Ia merangkulnya, dan menanyakan hal tersebut dengan sangat hati-hati, "Kenapa kau selalu membawa palu kecil ke mana pun kau pergi, Han?"
Hari itu masih mendung, bahkan setelah hujan reda, genangan bekas tangis hujan masih menempatkan diri di atas jalan. Dedaunan basah dan lembab, udara dingin terasa menggigit kulit. Han mengeluarkan palu kecil dari tasnya. "Maksudmu yang ini?" ia menoleh, balas bertanya.
Changbin mengangguk-angguk kecil, mengiyakan.
Mereka bertetangga, walaupun hubungan keduanya tidak terlalu dekat satu sama lain, namun Han selalu merasa nyaman berada di dekat Changbin. Dia orang yang baik, dan pendengar yang sangat baik.
"Aku pernah kehilangan seseorang, dan itu jelas meninggalkan luka. Setiap kali aku melewati tempat yang pernah kukunjungi dengannya, potongan memori masa lalu terputar begitu saja di dalam benakku. Sialnya, setiap jengkal tempat di kehidupanku pernah melukiskan memori bersamanya," Han menjelaskan perlahan; Changbin mendengarkan dengan seksama.
Jam masih menunjukkan pukul empat sore, namun selimut tebal awan sukses menaungi bumi dari cahaya matahari tanpa celah. Mereka berjalan santai di jalur khusus pejalan kaki. Han berdeham pelan sebelum melanjutkan.
"Aku benci mengakui jika semua memori itu membuatku sedih, dan sesuatu yang terasa mengganjal melingkupi hati dan perasanku. Pikiranku larut dalam masa lalu yang sudah berlalu. Aku kehilangan arah di masa yang sudah jelas harus kujalani. Semua itu menyakitkan."
Lelaki bermarga Seo itu sudah tidak lagi merangkul lawan bicaranya, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket—udara dingin serius menggigit kulit tangannya. "Lalu, palu itu?"
Han nyengir, gusinya nampak dari bingkai bibirnya. "Itu untuk memukul kepalaku."
Melotot, Changbin menatap orang di sampingnya dengan raut tercengang. Han tersenyum tipis, "kau tidak salah mendengar, aku benar-benar mengatakan jika itu untuk memukul kepalaku sendiri. Aku selalu memukul kepalaku berkali-kali dengan palu kecil itu, jika memori ingatan tersebut tanpa permisi menguasai seluruh isi kepalaku. Aku hanya,
Tidak ingin dikuasai masa lalu."
Hujan turun lagi, mengejutkan Han dan Changbin yang kini berlarian mencari tempat berteduh. Mereka memilih berdiam diri di dalam minimarket bersuhu rendah. Entah kenapa toko kecil itu gila-gilaan menurunkan angka pada pendingin ruangan di saat hari dipenuhi hujan.
Kedua lelaki itu menepuk-nepuk pakaiannya yang sedikit terjilat hujan. Mereka bergidik, berusaha menyesuaikan diri dengan udara yang semakin dingin.
"Apa tidak sakit?" tanya Changbin.
Otak Han sedikit terlambat memproses pertanyaan tersebut, namun lalu beberapa saat kemudian menangkap apa yang dimaksudkan tetangganya itu. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya kencang, berusaha menghangatkan. "Ya, itu jelas menyakitkan. Kepalaku bahkan memiliki benjolan karenanya..." Han berhenti sejenak untuk terkekeh pelan, "Itu kulakukan agar kesadaranku kembali memegang kendali."
"Jika tidak bisa melupakan, setidaknya aku tidak harus memikirkan."
Changbin dan Han berdiri di depan rak makanan, keduanya melirik ramyeon instan yang membuat keduanya tiba-tiba merasa lapar. "Kau mau? Aku yang bayar," tutur Han santai.
"Kau tahu aku tidak akan menolak bukan?" Changbin menyikut Han dengan cengiran lebar, dan tanpa ragu mengambil makanan itu.
Han berdiri di depan kasir, ia lantas mengeluarkan beberapa lembar uang dan membayar belanjaan.
"Oi, hujannya sudah reda," seru Changbin yang berdiri di depan pintu minimarket, ia membukanya lalu melenggang keluar diikuti Han.
Tangan Changbin menerima bungkusan plastik dari Han—ramyeon yang tadi di incarnya. "Terimakasih, kau menyelamatkan perutku juga dompetku yang mulai mengering."
Han menggeleng dan mengatakan jika itu bukanlah apa-apa.
"Omong-omong, aku masih tidak mengerti mengapa kau memukul kepalamu sendiri?" mereka kembali berjalan. Langit semakin gelap, waktu menunjukkan pukul lima sore.
Han yang biasanya riang tampak murung di bawah awan kelabu. "Selain untuk mengusir ingatan itu dari kepalaku. Aku berusaha mengalihkan rasa sakit di hatiku, ke rasa sakit di kepalaku," jelasnya dengan lengkungan di bibir.
"Walaupun kepalaku sakit, namun aku tidak perlu terlarut pada rasa sakit di hati."
Mengusap-usap kepalanya yang benjol, Han mengangkat bahu, "Yah, tetap saja menyakiti diri sendiri bukanlah sebuah penyelesaian. Aku sangat menyadari hal itu, dan mulai mengurangi kebiasaanku ini."
Changbin yang sedari tadi diam mendengarkan buka suara, "Jika boleh tau, dia itu... Pacarmu?"
Han menggeleng.
"Sahabatmu?"
Untuk kedua kalinya Han menggeleng, "Bukan keduanya."
Akhirnya Changbin berhenti bertanya dan memilih diam menanti penjelasan.
"Dia itu, diriku di masa lalu. Aku dulu orang yang sangat periang, benar-benar riang tanpa paksaan. Aku sangat penuh semangat, dan berpikir bisa melakukan segalanya, hingga, ujian besar menghampiriku. Aku benar-benar hilang arah, dan berubah menjadi orang yang buruk. Sangat buruk. Aku selalu merasa kesal dan marah tanpa alasan yang jelas. Aku selalu mengeluh, dan benar-benar mengurung diri dari orang sekitar. Yah, aku juga tidak jarang melukai diri sendiri."
Sesekali mereka berjengit ketika mobil yang melaju kencang menyipratkan genangan air di jalanan ke arah mereka. Angin semakin tak segan meniup kencang.
"Mengingat aku yang dulu begitu riang tanpa beban, lalu mengingat aku yang begitu hancur tanpa harapan, membuatku seringkali kehilangan fokus dalam proses penyembuhan. Nyatanya, kehilangan dirimu sendiri bisa lebih menyakitkan," Han menghela nafas pelan.
Changbin memegang pundak Han tegas, ia menoleh, menatap lekat manik sayu Han. "Walaupun yang kau lakukan itu tidak mengeluarkan setetes pun darah, walaupun kau tidak menggores tanganmu dengan benda tajam. Aku tidak akan pernah sekalipun membenarkan perbuatanmu, ataupun menyalahkan dirimu karena telah melakukannya."
"Kau tentu punya alasan, alasan yang mungkin bisa kudengar. Namun belum tentu bisa kupahami atau rasakan. Kau punya penderitaan yang hanya dirimu sendirilah yang dapat mengerti. Aku tidak mau menjadi hakim buta atas penderitaan orang lain yang seharusnya tidak kuadili. Orang lain seharusnya mendengarkan, menenangkan, dan memberikan dukungan emosional, bukannya menyalahkan juga menyudutkan. Meskipun, tubuh ini milikmu," Changbin menepuk-nepuk pundak Han pelan.
"Jadilah Tuan yang baik atas dirimu sendiri."
Han tersenyum tipis mendengarnya. Changbin benar, selama ini ia menjadi Tuan yang buruk.
Beberapa anak kecil berlarian dengan baju basah kuyup, wajahnya tampak bahagia. Han dan Changbin menatap gerombolan kecil yang semakin menjauh itu dengan senyuman.
"Ah, satu lagi," Han menoleh mendengarnya.
"Periang atau tidak, pemarah atau tidak. Seburuk apa pun atau sebaik apa pun kau di masa lalu. Kau tetaplah kau, tidak kurang atau lebih. Perubahan itu selalu ada, entah baik atau buruk. Kau hari ini, adalah dirimu yang kaupunya."
Changbin mengulum senyum, "Berdamailah dengan masa lalu, dan mulai bersahabatlah dengan masa sekarang. Aku akan membantumu."
Mereka tiba di persimpangan jalan, rumah keduanya berada di simpangan jalan yang berbeda. "Terimakasih banyak," Han membungkuk.
"Ah, itu bukan apa-apa," Changbin mengibaskan tangan menyangkal. "Kau mau mampir? Aku akan memasak ramyeon itu untukmu. Yah, jika kau mau," tawar Changbin.
Han mengangguk senang, lalu berjalan ke simpangan di mana rumah Changbin menetap.