Chapter 4

190 31 11
                                    

Setelah memastikan mobilnya terparkir sempurna dan telah dikunci, Namjoon berjalan menjauhi parkiran di lantai basemen kemudian berjalan masuk menuju gedung dan memilih lift sebagai caranya naik menuju lantai empat, tempat kantornya berada.

Sesampainya di lift, Namjoon kira ia diberi kesempatan untuk sekedar bernapas dengan lancar seperti biasanya. Namun getaran ponsel yang berasal dari saku celana bahannya kembali meminta untuk ditanggapi.

"First call for today, huh," ujarnya bermonolog kemudian menjawab panggilan telepon tersebut. "Halo, Pak?"

"Datang ke kantorku sekarang juga."

Masih dalam sambungan telepon, Namjoon langsung menekan tombol lantai yang berbeda dari tujuan sebelumnya. "Baik, Pak." Kemudian ia memutuskan hubungan telepon lalu menghembuskan napasnya yang sejak tadi tertahan. "Baiklah. Mari kita lihat ada masalah apa lagi hari ini."

Tanpa menunggu lama, ia sampai di lantai tujuannya dan segera mendatangi sebuah ruangan yang tak lain adalah tempat peneleponnya tadi berada. Setelah mengetuk pintu dan diizinkan masuk, ia pun masuk ke dalam lalu berdiri di hadapan meja lebar tersebut. "Selamat pagi, Pak," sapa Namjoon setelah sebelumnya membungkuk sejenak.

Pria yang disapa oleh Namjoon itu tak langsung menurunkan kakinya dari atas meja, yang sebenarnya tidak begitu menyenangkan dipandang oleh Namjoon. Maksud Namjoon, ya tidak masalah jika ingin bersantai di meja kerja sendiri, tapi bukankah harusnya pria itu menurunkan kakinya begitu tahu akan ada yang datang ke kantornya? Meskipun yang datang adalah bawahannya sekalipun. Setidaknya Namjoon dibesarkan dengan pendidikan etika sopan santun yang harusnya atasannya juga dapatkan sejak kecil.

Beberapa sekon kemudian pria dengan tatanan rambut klimis itu baru menurunkan kakinya lalu berdiri dari kursinya, tangannya melempar selembar kertas yang ditatapnya sejak tadi ke hadapan Namjoon. "Apa maksudmu dengan ini?"

Namjoon mengambil kertas yang jatuh di ujung sepatunya itu kemudian membaca isinya yang sudah tidak asing lagi baginya. "Ini rencana anggaran produksi yang Anda minta, Pak." Matanya menatap atasannya itu dengan pandangan mata polos tak bersalah, toh karena memang dia tidak paham apa maksud pria itu melempar kertas-kertas tersebut.

"Saya tahu!" Pria itu berdiri dari kursinya kemudian menggebrak meja di hadapan Namjoon. Seperti sudah biasa menghadapi situasi tersebut, Namjoon tetap diam di posisinya.

"Untuk apa memakai bahan yang mahal sementara masih bisa menggunakan bahan yang lebih murah?" lanjut pria itu dengan kobaran api di belakang punggungnya, ya memang hiperbola tapi Namjoon bisa membayangkan bagaimana jika api itu benar-benar ada di balik punggung pria di depannya ini.

"Saya dan tim telah melakukan riset dan pengembangan produk ini lebih dari satu tahun. Berdasarkan jurnal-jurnal yang ada, bahan-bahan tersebut adalah paling aman dan disetujui oleh instansi pemerintah terkait. Berdasarkan umpan balik konsumen tentang versi lama dari produk ini, mereka meminta agar konsentrasi bahan aktifnya perlu divariasikan. Sehingga saya perlu mempertimbangkan kembali komposisi setiap bahan agar hasil akhirnya tetap aman digunakan meski dengan konsentrasi yang bervariasi."

"Paling? Artinya ada yang aman juga, 'kan? Dan tolong, kau tidak perlu bicara teknis denganku, itu urusan kalian. Pokoknya saya minta kalian untuk lakukan riset lagi. Kau boleh idealis untuk mendapatkan kualitas yang terbaik, tapi tolong pikirkan biaya produksinya juga."

"Maaf, Pak. Saya rasa semua sudah disepakati saat rapat umum sebelumnya. Dan Bapak juga ada di sana waktu itu."

"Manajer Kim Namjoon! Jangan pikir karena kau keponakan Direktur Utama, kau jadi bisa seenaknya saja."

Bukan kali pertama bagi Namjoon berdebat dengan pria yang merupakan direktur operasional di perusahaan ini. Dan setiap berdebat, direktur itu selalu tidak melupakan embel-embel keponakan Direktur Utama ketika berhadapan dengan Namjoon. Sehingga lagi-lagi ia memilih untuk diam dan mengalah, daripada nama pamannya kembali dibawa-bawa— meski harus menurunkan idealisnya. Dan catatan penting, ia benci jika harus dianggap tidak kompeten hanya karena dia keponakan Direktur Utama yang bisa dengan mudah mendapatkan posisi yang ia pegang saat ini.

CILIEGIA - NITIROSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang