01 : Undangan

415 58 53
                                    


Penghujung Jalan
Undangan

•°•


"Nih, ada titipan undangan buat lo."

Gue melihat sekilas undangan yang disodorkan Alubiru, mendengus pelan sambil menerima kertas tebal bernuansa vintage itu. "Siapa yang mau nikah?" tanya gue.

"Sion," jawab Alubiru sengaja menempatkan diri di ruang kosong sebelah gue.

"Sion?" alis gue mengkerut heran dan kaget. "Bukannya Sion baru aja ditinggal nikah Viona? Terus dia nikah sama siapa?" tanya gue beruntun.

Dibalas dengan decakan malas oleh Alubiru. "Baca kali undangannya, jelas-jelas di situ tertera dengan jelas calon pengantinnya." sungutnya sambil menunjuk-nunjuk halaman depan undangan, sedikit sewot.

Tangan Alubiru gue tepis, gantian menatap lekat setiap tulisan di atas undangan. "Salsa? Salsa mana nih?"

"Gak tahu, gue juga gak kenal." sahut Alubiru tanpa menoleh dari layar ponselnya. "Yang gue denger sih katanya patner kencan buta. Tiga kali ngedate, ngerasa klop, yaudah nikah."

"Dih," dahi serta dua alis gue mengkerut sempurna. "Baru tiga kali ketemuan udah seyakin itu mau bangun rumah tangga?"

Terkadang gue merasa heran sendiri, kenapa orang jaman sekarang gampang banget ngambil keputusan untuk menikah. Contohnya kasus Sion, teman masa kuliah gue itu sebulan lalu baru aja ditinggal nikah pacarnya.

Yang gue inget—terakhir kali ketemu—Sion masih kaya mayat hidup karena gak bisa lupain Viona. Tapi apa-apaan, kenapa juga tiba-tiba gue dapet undangan kalau cowok itu malah mau nikah??? Terlebih sama cewek yang baru tiga kali dia ajak ketemuan.

"Gila kali si Sion," komentar gue. "Otaknya udah angus kali buat galauin Viona. Mikir pendek gini"

"Kok lo ngomongnya gitu?" Alubiru jadi menoleh, mendelik kecil. "Harusnya lo dukung Sion, emangnya lo mau liat dia lama-lama galauin Viona terus? Gak kasihan lo?"

"Bukan gitu Bir," gue menghela napas dalam, sambil mengusak rambut gue sengaja membasahi bibir yang mulai terasa kering. "Gue setuju dan dukung kalo Sion beneran mau move on dari Viona, tapi gak kaya gini caranya."

"Masalahnya baru tiga kali ketemuan ya kali udah ngerasa klop sama siapa itu tadi namanya—"

"Salsa,"

"Iya sama si Salsa." gue melirik Alubiru, memastikan kalau cowok itu masih mau mendengar perkataan gue. "Kalau prosesnya secepat itu, apa salah kalau gue sebut Salsa ini sebagai pelarian Sion?"

Alubiru diam. Gue yang awalnya hanya melirik kini menoleh sepenuhnya, membaca air muka Alubiru yang tampak menimbang-nimbang, seolah perkataan gue ada benarnya.

"Kalau benar cuma pelarian, apa gak kasihan sama Salsa?" tanya gue, sengaja banget bikin Alubiru naik kapal pendapat yang sama seperti yang gue tumpangi. "Cewek mana sih, yang mau dijadiin pelarian?"

"Gak ada, Bir." final gue. Menutup penjelasan singkat itu dengan senyum puas.

"Bener juga sih," respon Alubiru.

Puas karena Alubiru sekarang jadi sependapat sama gue.

"Tapi," Alubiru menyimpan ponselnya, sengaja memiringkan badannya supaya gue bisa langsung berhadapan sama dia. "Coba lo liat dari sudut pandang Sion."

"Sion kalau gak dipaksa ikut kencan buta terus ketemu sama Salsa, tuh anak gak mungkin bisa belajar move on."

"Bir, ada banyak bentuk usaha buat move on. Tapi nyari pelarian itu gak dibenarkan—"

Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang