03 : Saputangan

199 51 69
                                    


Penghujung Jalan
Saputangan

•°•



Semua rutinitas gue berjalan lancar. Di selang kesibukan gue, atau di tengah pusing-pusingnya kerja Alubiru tuh adaaa aja kelakuannya.

Temen yang udah seperti saudara sendiri itu paling tahu kalau gue udah mulai bete atau pusing gara-gara kerjaan. Alubiru pasti nyamper ke meja kerja gue, bawain kopi kaleng dingin plus cheetos jagung.

"Muka jangan ditekuk mulu," kata Alubiru. "Makin mirip keset welcome nanti."

Kalau aja gak ingat dia baru aja berbuat baik sama gue, isi kaleng kopi mungkin udah membasahi wajah sok garangnya.

"Lo udah dapet data PT. Barnas kan? Kirim ke gua, biar gue yang cek." lanjut Alubiru sebelum dia berjalan kembali ke meja kerjanya.

Tanpa pikir panjang gue langsung mengoper kaleng kopi ke tangan kiri, lalu buru-buru mengirimkan apa yang Alubiru minta.

"Udah gue kirim ya, Bir!" seru gue. Balik oper kaleng kopi ke tangan kanan, menyesap sedikit cairan kafein itu. "Thank's bro!"

Alubiru hanya merespon dengan memutar bola mata malas. Gue sih gak peduli dia mau merespon kaya gimana, yang penting bete gua ilang terus kerjaan gue hari ini selesai lebih awal.

Gue taruh kaleng kopi yang isinya tinggal separuh itu ke atas meja, beralih pada ponsel. Niatnya mau menghabiskan sisa jam kerja dengan bermain game,

Ddrrtt… ddrrtt... ddrrtt

Baru aja klik icon game layar berganti menjadi panggilan masuk. Gue mendelik saat membaca nama kontak yang tertera di layar.

Senja

Masih ingat Senja kan? Cewek yang minggu lalu jadi patner kencan buta gue.

Waktu itu setelah makan kita yang gak berniat pergi kemana pun memutuskan untuk langsung pulang. Dan setelah itu gue sama sekali gak pernah menghubungi cewek itu lagi. Begitu pun sebaliknya.

Tapi kenapa tiba-tiba dia nelepon?

Ddrrtt... ddrrtt… ddrrtt

Terlalu asik melamun, panggilan pertama yang gak terangkat itu tergantikan dengan panggilan yang kedua.

Kalo dia sampai menelpon dua kali artinya ada hal yang mau dibicarain kan?

Dengan alasan itu ibu jari gue menggeser ikon berwarna hijau ke samping.

"Halo?"

"Halo Dimas, saya Senja."

Gue mendelik. Gila ya nih cewek, masih aja manggil Dimas. Jelas-jelas nama gue Damar.

Damar ke Dimas, jelas jauh kan? Gak ada mirip-miripnya juga.

"Iya saya tahu," yang gak gue ngerti dari diri gue adalah gue yang gak protes. "Ada apa ya?"

"Saya mau balikin saputangan kamu," di sela suara Senja terdengar bunyi gemerisik, sepertinya dia sedang ada di tengah keramaian. "Hari ini kita bisa ketemu sebentar?"

Gue melirik jam dinding di ruang kerja. Jam 14.55.

"Bisa, jam berapa?"

"Sekitar jam tiga bisa? Saya lagi di jalan, kebetulan ada perlu di sekitar kantor kamu."

"Oke."

"Makasih ya Dimas, nanti saya kabarin lagi."

Deja vu.

Penghujung Jalan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang